Agama dalam perkembangan jaman telah mengalami perluasan makna dari tattwa menjadi identitas keyakinan seperti telah diutarakan di atas. Khusus bagi kalangan Hindu, agama sekarang menjadi penunjuk keberadaan dharma. Suatu istilah berasal dari akar kata Sanskrit dhru, berarti menjunjung dan mengikat. Terkait dengan istilah dharma, perhatikanlah kedua sloka berikut:
dharanaddharma ityahur
yang berarti dharma berasal dari dharana yaitu menjunjung, memangku atau mengatur dan
dharmena vidrtah prajah
yang berarti dengan dharma semua diatur.
Kalau ditarik garis lurus dari akar kata Sanskrit dan kedua seloka di atas maka hakekat dharma adalah hukum, ‘hukum Tuhan’. Penekanan ini sangat sesuai dengan isi salah satu Vedanta Prasnatraya yaitu Brahma Sutra I.2.18 yang menyatakan bahwa aturan-aturan hukum dalam kuasa Tuhan atau Adhidaiva disebut dharma,
Antaryamy adhidaivadishu tad dharma vyapodesat.
Hukum abadi secara sakala maupun niskala pengikat alam semesta beserta isi semesta termasuk manusia.
Keberadaan dharma sebagai hukum dikenal melalui Wahyu atau Sabda Yang Maha Esa, Daivi-vak (Rg VedaPratama Mandala). Wahyu yang ditanamkan langsung pada kesadaran jiwa murni dari Sapta Rsi atau tujuh kelompok Maharesi penerima wahyu (Reg Veda Samhita X.71.3). Wahyu dengan bahasa daivi-vak yang ditanamkan dalam kesadaran hati suci inilah diterjemahkan sebagai Veda Shruti atau kitab wahyu suci ajaranHindu. Kesesuaian tentangnya dapat dirujuk dalam Brahma Sutra II.1.27 yang menyatakan Shruti berawal dari Wahyu,
shrutestu sabda mulatvat.
Manusia kemudian merilis dan menafsirkan Wahyu Yang Maha Esa melalui ingatan menjadi berbagai kitab-kitab hukum dari masa ke masa dan digunakan sesuai dengan masing-masing jaman saat penafsiran dibuat. Produknya dikenal sebagai kitab-kitab Veda Smrthi, veda yang disusun berdasarkan tafsir ingatan manusia terhadap Shruti atau wahyu.
Berdasarkan ajaran Veda Shruti, hukum sakala dasar ciptaan Tuhan dalam dharma untuk mengikat secara mutlak alam semesta beserta isi semesta adalah rta, secara kasar diterjemahkan sebagai hukum alam, dan Satya, secara kasar diterjemahkan sebagai realita kebenaran.
Rta adalah hukum pengikat realita kebenaran. Rta, baik tampak maupun tersembunyi, adalah fakta sekaligus rahasia semesta dan merupakan hakekat kebenaran objektif. Bumi mengelilingi matahari, benda-benda alam bergerak diseputar pusat semesta, fakta kelahiran-kematian dan lain-lain merupakan contoh keterikatan alam pada rta. Keberhasilan atau kegagalan proses seperti inseminasi, kloning, reaksi kimia dan lain-lain merupakan contoh lain kerja rta.
Istilah rta jangan dikaburkan dengan istilah andha atau kodrat, seperti andhabhawana atau kodrat alam maupun andhasarira atau kodrat diri yang berhubungan dengan bawaan pemunculan atau bawaan lahir dan disebut anubhava. Bumi mengelilingi matahari adalah contoh dari andhabhawana. Sedangkan contoh bagian rta adalah penyebab bumi mengelilingi matahari. Seorang wanita cantik lahir dengan hidung mancung merupakan contoh andhasarira. Mengapa wanita cantik tersebut lahir dengan hidung mancung merupakan contoh kerja rta.
Satya adalah realita kebenaran. Realita absolut dan tidak dipengaruhi oleh transformasi ruang waktu atau bersifat invariant. Sebagai contoh suatu vektor r besar 5 satuan pada arah r dalam koordinat ruang kartesian (x, y, z) dinyatakan sebagai berikut:
Gambar 1. vektor r dalam (x,y,z)
maupun dalam (x’,y’,z’).
maupun dalam (x’,y’,z’).
Asalkan rigid dalam transformasi, besar dan arah dari vektor r tidak akan berubah walau koordinat (x,y,z) ditransformasikan ke koordinat (x’,y’,z’). Hanya pencerminan pada (x,y,z) berbeda dari pencerminan pada (x’,y’,z’).
Sebagai contoh penguat, perhatikanlah air yang secara fisik merupakan cairan tak berwarna dan bening atau tembus pandang. Berkenaan dengan keberadaan air tersebut, simaklah cerita berikut. Suatu hari seorang bocah gunung diajak orang tuanya mengarungi lautan dengan menggunakan kapal penumpang. Bocah tersebut melihat ke bawah. Dia melihat air laut berwarna biru. Dia lalu berpikir dan yakin bahwa air laut berwarna biru. Dikemudian hari kalau ada orang bertanya tentang warna air laut, dia akan menjawab dengan penuh keyakinan bahwa air laut berwarna biru.
Sudah barang tentu keyakinan bocah kecil tersebut tidak benar atau asatyam karena tidak sesuai dengan realita. Sebagai fakta satyam seperti telah dijelaskan di atas, di manapun berada dan asalkan tidak tercemar, air merupakan cairan tidak berwarna dan bening atau tembus pandang. Lalu apakah alam menipu bocah tersebut? Tidak, alam tidak menipu.
Hukum alam atau rta yang mengandung hukum-hukum pemantulan dan pembiasan cahaya sebagai pengikat satya atau realita yang bekerja pada air laut menyebabkan mata si bocah menangkap warna biru. Dengan demikian agar bocah tersebut memiliki pemahaman benar terhadap realita, dia mesti melakukan penyelidikan dengan menggunakan konsep pramana dan pratiba di atas terhadap keberadaan satya dan rta yang mengikatnya untuk mendasari segala keyakinan atau kepercayaannya.
Tanpa penyelidikan terhadap satya dan rta yang mengikatnya melalui pramana dan pratiba, akan menghasilkan kepercayaan tanpa kebenaran maupun kepercayaan dengan kebenaran semu yang termasuk asatyam. Sebagai Contoh adalah Sekte Hari Kiamat seperti yang telah dibahas sebelumnya. Kepercayaan semacam ini sering muncul dan diyakini masyarakat secara sporadis, lalu lenyap karena terbukti tidak benar atau menyimpang dari realita.
Satya dengan kata lain adalah kebenaran mutlak yang tidak bergantung dari sudut mana dia dipandang. Untuk itu, marilah menyimak sloka indah yang ditulis Empu Tantular dalam Pustaka Negara Kertagama:
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.
Darimanapun sudut pandang yang digunakan dan bagaimanapun cara memandangnya, realita memang merupakan wujud tunggal dari kebenaran.
Uraian teori bisa saja dikembangkan untuk menjelaskan suatu kebenaran. Namun, penentu dari keabsahan teori tersebut tetap mengacu pada satya sebagai realita dari kebenaran.
Untuk menggambarkan bahwa keabsahan teori harus berpegang pada satya, perhatikan suatu contoh teori berikut yang berkenaan dengan zat cair. Dalam ilmu fisika, suatu teori mengungkapkan bahwa cairan bila dipanaskan menyebabkan isi atau volumnya bertambah besar (Mark W. Zemansky and Richard H Dittman, 1982). Fakta dapat dilihat pada cairan pengisi termometer. Dengan pemanasan, volum cairan di dalam termometer mengembang yang ditunjukkan oleh peningkatan pembacaan skala pada termometer tersebut.
Air sebagai salah satu contoh cairan kalau dihubungkan dengan teori di atas ternyata menunjukkan hal berbeda (Atkins, 1998 dan Levine, 1988). Pemanasan dari suhu 0 oC, 1 atm ke 4 oC, 1 atm menyebabkan volum air justru berkontraksi sehingga mengecil. Volum air baru mengembang bila pemanasan telah melewati suhu 4 oC.
Teori peningkatan volum cairan bila suhu ditingkatkan tidak dapat digunakan menjelaskan fakta penyusutan volum air bila dipanaskan pada kondisi di atas. Padahal keberadaan yang dirujuk sebagai anomali air bagaimanapun merupakan suatu kenyataan. Itu adalah salah satu fakta kebenaran sebagai bagian dari satya juga, yang tidak dapat dijelaskan dengan teori pengembangan volum bila suhu ditingkatkan.
Sesuai dengan contoh di atas, dapat ditekankan kembali bahwa berbagai teori dikembangkan hanya untuk pendekatan terhadap kebenaran. Penentu salah benar suatu teori tetap pada satya sebagai wujud realita kebenaran.
Veda lebih jauh menjelaskan bahwa rta ditopang oleh karma atau gerak, karena berasal dari akar kata Sanskrit kr yang berarti gerak. Karma muncul karena ada distorsi sunya atau distorsi simetri awal; perlu dipahami bahwa sunya atau luwang dari ekawara menurut Swami Sivananda (1999) dan Swami Krishnananda (2002) adalah keadaan simetri absolut awal atau asat berupa keberadaan tak terbedakan, tenang dan mantap sebagai keadaan potensial berupa sakti untuk penciptaan, bukan kosong atau nihil; Suatu penyimpangan atau pecah simetri akibat wrtta yaitu pusaran-pusaran berbentuk kampana atau osilasi (Rg Veda) sebagai dasar pemunculan objek-objek bermassa berupa mula-prakrti (Painggala Upanisad I.1.4) yang bergerak acak atau chaos, terjemahan kawi: anrawang-anruwung, dalam samudra-arnawa atau cikal bakal semesta.
Pada samudra arnawa kemudian diciptakan hiranya-garba, bibit atau telor kosmis. Bibit kosmis yang berkilauan sehingga disimbolkan berwarna emas karena memuntahkan energi kemana-mana dan pecah menjadi benda-benda langit termasuk bumi (Painggala Upanisad I. 5-7). Mulailah alam semesta terbentuk sebagai mahawyahrti (Brhad-aranyaka Upanisad V.14.1 dan Taittiriya Brahmana II.2.4.2),
bhuh bhuvah svah,
seperti tercantum sebagai kelengkapan mantram gayatri.
Sebagian dari mahawyahrti yang muncul kepermukaan sebagai bhur dan bhuvah dinyatakan sebagai pradana atau unsur-unsur alam. Bhur berbentuk brahmanda-brahmanda atau benda-benda langit termasuk bumi dan bhuwah atau antariksam berupa ruang antara bhur dengan bhur lain.
Sebagian lagi dari mahawyahrti tersembunyi sebagai svar atau dhyaus berupa kesadaran kosmis atau purusa. Kesadaran, seperti dinyatakan dalam Brahma Sutra I.3.1
dyubhvadyayatanam svasabdat,
yang digunakan mengikat pradana atau unsur-unsur alam dengan tali-tali semesta beraturan seperti laba-laba mengatur jaring-jaringnya atau urnana-bhawad sehingga semesta fisik jadi mengembang (Brhad-aranyaka Upanisad III. 6.1). Tali-tali semesta ini berosilasi menurut gerak roda semesta atau jantrabhavana. Dimana osilasi berbentuk gelombang semesta ini kemudian disebut dengan istilah bhawanawrtta atau bhawanakampana.
Dalam tafsir terhadap ajaran veda di atas ada kesenjangan mesti diselidiki terhadap bagaimana proses rinci pemunculan samudra-arnawa hingga pembentukan hiranya-garba. Veda melalui Nasadiya Sukta hanya menjelaskan hiranya-garba dibentuk berdasarkan pemusatan energi melalui tapa (Rg Veda X.124.3), dari kata tap = energi, yaitu energi pembentuk semesta (Maitri Upanisad VI.6). Lebih lanjut, diperlukan pula penyelidikan terhadap bagaimana cara hiranya-garba memancarkan energi sehingga alam semesta terbentuk dan bagaimana purusa mengikat pradana dalam tali-tali semesta beraturan yang disebut urnana-bhawad yang berosilasi menurut gerak roda semesta. Lebih mendasar lagi, bagaimana wrtta berupa kampana atau osilasi sebagai penyebab peristiwa chaotic atau acak berlandaskan karma atau gerak bisa menjadi dasar hukum alam. Dari keacakan menimbulkan keteraturan semesta dengan mengingat bahwa kalau ditelusuri balik keacakanpun berasal dari keberaturan osilasi. Keberadaan dari proses-proses kosmis tersebut masih gelap sampai sekarang. Kegelapan yang menyisakan lahan tak hingga besar bagi para fisikawan, matematikawan dan peneliti-peneliti alam untuk mengadakan riset.
Yang sekarang masih dikenali adalah karma sebagai penopang rta mengikat segalanya dalam gerak dan perubahan. Azas rta inilah dikenal sebagai hukum karma pembawa konsekwensi punarbhawa berupa proses perubahan dan menjadi bagian-bagian sraddha atau dasar-dasar keimanan Hindu.
Banyak teori diajukan untuk menggali keberadaan rta. Penjelasan kuno bisa ditemukan dalam pustaka-pustaka smrthi seperti bagian depan Manawa Dharmasastra, Brahma Purana, Wisnu Dharmotara, Buana Kosa, Wewaran dalam lontar-lontar Sundari maupun lontar-lontar Wariga, dan lain-lain.
Penelitian terhadap hukum alam yang dalam istilah Hindu disebut rta ini juga telah menjadi bahasan pokok atau fokus utama kajian para ilmuwan modern. Bahkan mereka telah mampu merumuskan hukum-hukum tersebut dari bentuk kualitatif ke bentuk yang lebih kuantitatif. Perumusan hukum-hukum tersebut dapat dilihat mulai dari teori simpel fisika yang dikembangkan Newton, teori relativitas, teori kuantum, teori ledakan besar atau big bang, sampai teori paduan agung atau grand unified theory (Symon, 1980, dan Werner Heisenberg,1989). Di samping itu, para ilmuwan modern mengembangkan juga teori supergravitasi, teori supersimetri, teori superstring dan lain-lain untuk mengungkapkan keberadaan hukum-hukum alam yang masih menjadi misteri besar semesta (Sandi Setiawan, 1994). Lebih lanjut, walaupun masih di angan-angan, pendekatan terbaikpun dikembangkan melalui theory of everything dengan cara mencari titik temu antara teori kuantum yang berazaskan ketakpastian Heisenberg dengan teori relativitas yang dikembangkan Einstein. Namun sampai sekarang, belum ada satu teori-pun mampu menjelaskan rta secara sempurna. Sehingga, masih terbuka peluang yang tak hingga besarnya bagi para peneliti untuk menguak keberadaan rta sebagai hukum alam.
Sekali lagi, rta adalah rahasia alam dan hakekat realita atau kebenaran pengikat semesta. Segala teori ilmu pengetahuan adalah pendekatan subjektif terhadap keberadaannya. Suatu pendekatan berhasil berdasarkan batasan-batasan dan bersifat spekulasi filosofis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar