Dharma adalah Hukum Tuhan yang dikenal melalui wahyu atau apuruseya, bukan buatan manusia. Bersifat vaidika karena diketahui melalui sumber berupa Veda. Dharma adalah Hukum abadi atau sanatana dharma pengikat semesta. Selama alam semesta beserta segala isi semesta berupa mahluk, mati atau hidup, ada pasti terikat oleh dharma (Reg Veda X.190.3).
Dharma dalam penyadaran berlandaskan pada sraddha atau keyakinan. Landasan keimanan karena mengandung hakekat kebenaran faktual. Perlu disadari bahwa sraddha merupakan keyakinan mendasar dan dapat dibuktikan melalui vidya berbasiskan pratiba maupun pramana. Bukan keyakinan dogmatis yang tidak dapat dibuktikan benar.
Sraddha adalah keyakinan yang menyebabkan pemeluknya secara khusus maupun semua manusia secara umum percaya karena realita menunjukkan benar. Walaupun demikian, melalui alat-alat pembentuk sraddha berupa tingkatan penguasaan brahmavido maka keyakinan manusia dapat dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan.
Tahap terendah adalah sraddha-nista. Keyakinan yang berlandaskan ketaksempurnaan penguasaan pramana. Sebagai contoh adalah keyakinan hanya atas wejangan atau perkataan orang-orang berpengaruh seperti tokoh-tokoh agama, nabi, wali, rsi, pendeta, pemimpin umat dan lain-lain. Demikian pula percaya hanya melalui pembelajaran kitab-kitab yang disucikan tanpa telaah bukti melalui penelitian akurat.
Keyakinan semacam ini sering bersifat tekstual dan dogmatis. Muncul secara eksternal karena pengkondisian dan penekanan. Sebagai contoh keyakinan yang timbul dengan cara menakut-nakuti kalau melihat wanita telanjang adalah dosa dan akan menerima siksa di akhirat dengan pembutaan kedua biji mata.
Sraddha tahap nista ditemukan secara umum pada pelembagaan-pelembagaan agama. Kondisi yang menimbulkan sikap-sikap ortodoks. Kaku dan teguh pada keyakinan walaupun tidak didasari realita. Akibatnya adalah memunculkan penganut sekte berpikiran sempit, tidak mau menerima paparan realita, bahkan cenderung anti kemapanan.
Tingkat kedua adalah madyama-sraddha. Keyakinan berlandaskan hanya pada penguasaan pramana. Keyakinan sangat mendasar karena berdasarkan pada telaah logis. Bersifat konsisten karena kebenaran dapat dirunut kembali. Namun pada tingkat madyama kebenaran bersifat relatif karena bergantung pada bingkai telaah.
Format kebenaran pada tahap madyama harus ditelaah dari penggunaan kerangka acuan. Karena tidak ada kerangka acuan absolut dalam kerja penalaran dan inderawi, kesimpulan kebenaran dari suatu keyakinan bergantung pada acuan yang digunakan.
Tingkat tertinggi di dalam keyakinan disebut sebagai sraddhotama. Tingkat kepercayaan dihasilkan bersifat mutlak. Landasan kepercayaan bersifat hakiki melalui penguasaan pratibha setelah menguasai pramana. Keyakinan muncul dari hasil pengamatan murni terhadap realitas absolut dimana sudah tidak diperlukan segala kerangka acuan relatif dalam menunjukkan kebenaran.
Sebagai landasan keimanan, sraddha yang menjadi dasar dalam membangun ajaran dharma ada lima. Urutannya adalah Brahman, Atman, Karma, Punarbhawa, dan Moksa. Kelima sradha disebut sebagai Pancasraddha.
Sraddha pertama adalah keyakinan pada Brahman sebagai hakekat dari Yang Maha Esa yang menjadi pemuncul atau Brahmā, pengendali atau Visnu dan pengakhir atau Rudra keberadaan baik semesta maupun isi semesta. Keberadaan Brahman sebagai hakekat Yang Maha Esa pasti dipercayai oleh setiap agama dan lembaga keyakinan terhadap Tuhan. Walaupun demikian keyakinan pada Tuhan sering kali menimbulkan spekulasi antara penganut-penganut agama hingga tidak jarang menimbulkan benturan-benturan dan berakhir pada pemusnahan nilai-nilai kemanusiaan.
Brahman adalah Brahman, tidak bisa diterjemahkan. Pemahaman Beliau hanya dapat dilakukan melalui pengembangan kemampuan pratiba dimana kesadaran suci pengamat murni muncul dalam memahami realitas absolut tersebut. Tanpa ini, beliau tidak akan terjangkau karena beliau acintya atau berada diluar jangkauan pikiran.
Tidaklah mungkin memaparkan keabsolutan Brahman berdasarkan penalaran karena semua penjelasan menjadi bersifat relatif dan sangat spekulatif. Bahkan Bādarayana dalam Brahma Sutra III.2.23 menyatakan bahwa Beliau tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata,
tad awyaktam aha hi.
Brahman menurut konsep Nirguna Brahma atau konsep Parama Shiva Tattwa tidak dapat diterjemahkan secara tepat karena keterbatasan bahasa manusia untuk menggambarkan. Inilah menyebabkan mengapa hakekat Yang Maha Abadi pada awal pembahasan buku ini diterjemahkan sebagai Tuhan dalam tanda petik, “Tuhan”. Walaupun demikian, konsep Saguna Brahma atau konsep Sada Shiva Tattwa yang berusaha membawa gambaran Brahman ke dalam tingkat penalaran manusia selalu dilakukan dari masa ke masa.
Di sini dipaparkan sedikit tentang usaha penggambaran Brahman sehingga dapat diterima melalui penalaran dengan cara melakukan pembatasan-pembatasan Brahman pada hakekat dari Yang Maha Tak Terbatas.
Penjelasan tentang Brahman sering kali dimulai dengan merunut asal pembentuk kata Sanskrits tersebut. Brahman berasal dari kata brhati dan berarti absolut. Brahman di sini dijelaskan sebagai Maha Absolut. Bahkan dalam Chandogya Upanisad dirujuk sebagai bhuma karena Brahman meliputi segala realita yang ada, sat, dan realita yang tidak terjangkau, asat.
Disamping itu, dalam upaya menggambarkan Brahman diperlukan bantuan nyasa, baca niyasa, sebagai simbol-simbol atau lambang-lambang. Nyasa sebagai simbol-simbol atau lambang-lambang, baik berupa nama atau simbol verbal maupun rupa atau simbol nonverbal, dalam agama tidak berarti berhala untuk mempersekutukan Tuhan. Nyasa berfungsi hanya sebagai alat kontaks manusia terhadap-Nya melalui Brahmavido.
Kalau penganggapan nyasa sebagai berhala dilakukan maka semua adalah berhala. Tidak akan ada yang bukan berhala. Kaligrafi grafis maupun tulisan-tulisan dalam kitab suci untuk menggambarkan keagungan hakekat Yang Maha Kuasa-pun karenanya merupakan berhala.
Lalu mengapa dengan nyasa?
Begitu melakukan kontaks, pengenalan dan penafsiran terhadap suatu objek maka manusia tidak bisa lepas dari penggunaan nyasa, simbol-simbol, atau lambang-lambang. Simbol-simbol berupa sinyal-sinyal yang diterima dan diolah otak sebagai dasar pengenalan, pengertian, pemahaman dalam penalaran manusia terhadap objek dan proses keberadaan objek tersebut.
Dalam agama terutama melalui kitab-kitab shivāgama, nyasa yang meliputi ketakterbatasan simbol atau lambang dibagi ke dalam empat kelompok. Pertama adalah nyasa sabda berupa simbol-simbol ucap sebagai bahasa atau alat komunikasi verbal. Ke dua adalah nyasa rupa berupa notasi-notasi sebagai bahasa simbol atau matrika, garis-garis dan relief-relief atau yantra, gambar-gambar, sampai patung atau arca-arca sebagai pratima, dan lain-lain. Terakhir adalah nyasa guna dan nyasa shakti berupa kegunaan/manfaat dan kemahakuasaan seperti Maha Kuasa, Maha Pelindung, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Menyenangkan, dan lain-lain.
Brahman yang tak pernah tersentuh oleh penalaran manusia selalu dihubungkan dengan nyasa. Bahkan AtharvaVeda XIII.4.45 menyatakan bahwa semua bentuk simbol tak terkira banyaknya dihubungkan pada hakekat Yang Maha Esa ini,
u po te badve bodvani
yadi vasi nyarbudam.
yadi vasi nyarbudam.
Walaupun demikian, Brahman adalah tanpa nyasa seperti dijelaskan dalam Yajur Veda XXXII.3,
na tasya pratima asti.
Mengapa demikian?
Seperti dijelaskan di atas, Brahman meliputi segala realita yang ada maupun segala realita yang tak terjangkau, yang tampak atau bhuta maupun yang tidak tampak atau abhutam, serta yang berwujud atau murta maupun yang tidak berwujud atau amurtan. Karenanya segala nyasa tidak dapat menggambarkan secara sempurna keberadaan Brahman.
Setiap nyasa hanya menyentuh sisi kecil dari keagungan-Nya. Brahmā, Wisnu dan Shiwa sebagai contoh murta atau wujud personifikasi yang dikenal sebagai Tri Murti bukanlah trinitas dalam nyasa melainkan hanyalah sisi-sisi kecil dari personifikasi kepribadian hakekat Yang Maha Esa yang sangat kompleks tersebut (Radhakrishnan dalam Agus S. Mantik, 2002).
Lalu buat apa nyasa, bukankah nyasa tidak dapat menggambarkan keberadaan Brahman dalam sraddha pada-Nya?
Jawabannya adalah, disamping karena kemampuan pengenalan manusia tidak bisa lepas dari nyasa berupa simbol-simbol maupun lambang-lambang dan walau hanya sisi kecil dari pengenalan pada keagungan Brahman, itu sudah menjadi sarana mendekatkan diri dalam kesadaran bakti pada hakekat Yang Maha Esa.
Usaha pendekatan Brahman dalam wujud pribadi yang akrab terhadap manusia seperti dijelaskan di atas merupakan cita-cita dari masa ke masa. Beliau dipersonifikasikan melalui nyasa guna dan nyasa sakti sebagai Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Tahu dan segala yang bersifat Maha lainnya.
Wujud-wujud kemaha kuasaan inilah yang menyebabkan beliau dikenal sebagai Tuhan berdasarkan kedekatan dengan yang mewujudkan Beliau dalam pikiran. Seperti Tri Murti di atas adalah contoh pewujudan atau murti dari Brahman.
Personifikasi Brahman sebagai pribadi yang dekat dengan manusia menurut Radhakrishnan berpuncak pada pewujudan Pribadi Tuhan atau Personality God. Dalam istilah Hindu secara umum disebut sebagai Iswara atau Yang Maha Kuasa. Lebih dekat lagi disebut Purusotama atau Kesadaran Berpribadi. Dialah Narayana atau Visnu yang menuntun dan menyelamatkan manusia. Bahkan Beliau semakin dekat dengan manusia melalui Pribadi Sadar, Budha atau Purusa. Sebagai contoh tampak dalam gerakan Kesadaran Krisna dimana Krisna diagungkan sebagai Pribadi Tuhan. Contoh sejenis tampak pada bakta Syai Baba.
Proses personifikasi Brahman dalam wujud Personality God juga menjadi cikal bakal pemunculan berbagai aliran atau sekte-sekte agama dalam Hindu. Brahminisme sebagai misal mewujudkan Pribadi Tuhan dalam Brahmā atau Yang Maha Pencipta. Kelompok Waisnawa mewujudkan Wisnu atau Narayana dan berpribadi dalam kesadaran Krisna. Siwisme mewujudkan Shiva sebagai Yang Membahagiakan.
Walaupun berbeda-beda dalam menuju Personality God, semangat Weda yang berintikan pada ketiadaan pensektean menunjukkan bahwa semua merujuk pada yang satu, sesuai bunyi Atharva Veda XIII.3.17,
yad ekam jyotir bahudha vibhati.
Ya memang! Beliau yang tunggal itulah Yang Maha Esa seperti dijelaskan Atharva Veda XIII.4.20,
sa esa ekavrd eka eva.
Keyakinan terhadap Brahman tidak begitu saja muncul dan dipercaya dalam dharma. Keyakinan ini dapat dibuktikan berdasarkan syarat-syarat pembuktian jelas melalui Brahmavidya dimana yoga menjadi proses dan cara merealisasikan kesadaran terhadap keberadaan-Nya.
Sraddha kedua adalah keyakinan terhadap keberadaan atma, yang merupakan turunan dari fungsi kemahakuasaan Brahman, sebagai hakekat hidup. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa di alam semesta ada kehidupan berupa mahluk-mahluk hidup dari yang renik sampai yang kasat mata. Bila atma sebagai jiwa atau penyebab hidup tidak ada, badan menjadi sama dengan benda-benda mati lain. Tidak punya kesadaran. Lembam terbawa hukum alam. Seperti dengan Brahman, keberadaan atman-pun bisa dibuktikan melalui syarat-syarat pembuktian yang diperlukan. Misalkan melalui yoga sadhana atau disiplin yoga.
Sraddha ketiga adalah percaya terhadap karma atau gerak. Karmalah memberikan gambaran fisik terhadap keberlangsungan segala proses di jagat raya. Pembahasan tentangnya tampak pada teori mekanika baik kuantum maupun klasik atau dalam teori relativitas pada ilmu fisika yang secara prinsip menjelaskan keterkaitan ruang, waktu, dan gerak (Symon, 1980 dan Werner Heisenberg, 1989). Pemahaman terhadap karma dapat diperoleh menggunakan bahasa lokika atau logika sebagai penerjemah yang tampak dalam bentuk notasi-notasi matematika.
Khusus pada prilaku manusia karma mengejawantah dalam bentuk kriya atau kreativitas dan diwujudkan sebagai karya berupa kerja, tindakan, maupun aktivitas. Setiap aktivitas pasti membuahkan hasil atau pahala, terjemahan Sanskrit phala yang berarti buah atau hasil. Sehingga sraddha ketiga sering disebut sebagai karmaphala atau hukum karma. Hukum yang menjadi landasan moral terhadap pemunculan segala norma dan aturan di masyarakat.
Punarbhawa adalah sraddha keempat, berasal dari kata Sanskrit purna berarti hilang atau musnah dan bhawa berarti muncul atau lahir. Hilang dari pola-pola keberadaan ruang waktu tertentu lalu muncul di pola-pola lain keberadaan ruang waktu. Proses ini, secara mendasar, merupakan hakekat proses perubahan. Punarbhawa mengikat mutlak hal-hal bersifat sakala. Sebagai contoh keterikatan badan kasar atau wadag maupun badan halus atau sukma pada perubahan.
Keterikatan badan kasar pada punarbhawa tampak jelas di alam semesta. Sebagai contoh transformasi unsur-unsur penyusun kehidupan dari satu mahluk ke mahluk lain melalui rantai makanan. Seperti badan kasar demikian pula tercermin pada sukma atau badan halus dari wadag satu ke wadag lain. Proses pergantian badan kasar satu ke badan kasar lain oleh sukma disebut samsara atau pengulangan menyengsarakan dan lebih dikenal sebagai reinkarnasi atau proses kelahiran kembali. Proses ini diatur oleh hukum karma dalam kepastian perubahan dan punarbhawa sebagai probabilitas arah proses perubahan.
Pemunculan reinkarnasi menurut ajaran Hindu disebabkan oleh keberadaan hakekat sukma atau antakarana sarira berupa karmaksaya yang mengaburkan jiwa atau sang penyebab hidup. Karmaksaya merupakan tandon tempat pengumpulan kesan-karma atau samskara dari setiap aktivitas. Kesan-kesan inilah menimbulkan keinginan-keinginan atau vasana untuk mengulangi aktivitas serupa seperti dijelaskan Svami Sivananda (1960) dalam Kundalini Yoga. Setelah makan sebuah mangga, sebagai contoh, mungkin ada kesan rasa manis tersimpan sebagai samskara. Rasa manis yang menyebabkan keinginan atau vasana untuk mengulangi perbuatan sejenis. Akhirnya kembali lagi mangga serupa dinikmati.
Semasih karmaksaya berupa badan halus tetap mengikat maka vasana akan selalu muncul. Kalau keinginan tersebut dimasa kini tidak tuntas dikenyam maka akan dinikmati dimasa-masa mendatang. Bila pada kehidupan ini, dengan kata lain, vasana tidak dapat dituntaskan maka akan diemban pada kehidupan mendatang. Inilah samsara berupa proses pengulangan menyengsarakan terjadi dari satu kelahiran ke kelahiran berikut. Dikatakan menyengsarakan karena jiwa terbebani oleh keterikatan pada keinginan-keinginan bersifat duniawi.
Bila keterikatan jiwa pada badan kasar dan badan halus dapat dilenyapkan atau bila jiwa dapat dibebaskan dari keterikatan duniawi maka sampailah saat mencapai pembebasan. Kesadaran jati diri atau kesadaran atma terserap ke dalam kesadaran Paramatma sebagai sumber atma, yaitu kesadaran Brahman. Terserapnya kesadaran jati diri ke dalam kesadaran Paramatma inilah dikatakan sebagai moksa dan menjadi sraddha penutup dari lima dasar keimanan Hindu atau Panca Sraddha. Ketaksimetrian spiritual kembali ke kesimetrian absolut. Bagaimanapun ketaksetimbangan secara alami pasti menuju kesetimbangan.
Dharma diturunkan dengan tujuan jelas seperti tersurat dalam sloka sebagai berikut,
atmanam moksartham jagadhita yata iti dharma,
yaitu dharma bertujuan mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan mencapai moksa.
Jalan mencapai tujuan dharma disebut marga. Ada empat uraian marga yang dikenal sebagai catur marga dan bersifat sangat integral, tidak dapat dipisah-pisahkan. Pemisahan masing-masing akan memberikan pengertian lain dari pemahaman agama. Karma dalam wujud kriya atau kreativitas, jnana berupa kecerdasan, bakti, dan yoga. Suatu integralitas dari kesadaran berdimensi tak hingga.
Kesemua marga bisa ditampilkan singkat melalui penyederhanaan dalam delapan kwadran berdimensi tiga sesuai dengan pemungsian pada kriya atau kreativitas. Shreya atau kebenaran adalah fungsi intelegensia, phreya atau kesenangan sebagai fungsi emosi, dan bakti sebagai fungsi spiritualitas (IGMA Sanjaya, 2002).
Aktivitas pencapaian tujuan dharma haruslah berpegang pada sendi-sendi pengokoh dharma berupa satyam sebagai basis kebenaran, shivam sebagai azas moralitas, dan sundaram sebagai landasan harmoni. Berdasarkan hal inilah bangun agama mesti diisi dengan sarana-sarana penunjang yang diuraikan dalam catur paramartha seperti tersurat dalam sloka
dharmartha kama moksanam sadhanam,
yaitu sarana mencapai moksa adalah terpuaskan keinginan atas harta dan nafsu keduniawian berlandaskan dharma.
Ibarat bangunan, dharma adalah bangun rumah keyakinan kokoh. Berdiri mantap berlandaskan dasar keimanan atau sraddha yang dapat benar-benar diyakini karena mengandung kebenaran objektif.
Dharma berpayungkan atap tujuan jelas bagi kehidupan duniawi maupun kebahagiaan jiwa. Dilengkapi marga sebagai jalan mencapai tujuan dan dikokohkan oleh pilar-pilar kebenaran, moralitas serta keharmonian. Pilar-pilar yang mesti dipegang dalam melengkapi bangun rumah keyakinan dengan sarana-sarana pendukung berupa catur paramartha.
Dharma adalah suatu bangun keyakinan yang tidak dibentuk secara dogmatis berdasarkan tahayul dan mistis, apalagi tanpa berlandaskan kebenaran. Bangun keyakinan yang didirikan atas landasan kebenaran objektif berdasarkan telaah vidya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar