Apakah setiap kita sembahyang mesti menggunakan mantram, bagaimana bila kita tidak mengetahui tentang mantram, apakah boleh menggunakan bahasa hati, bahasa yang paling kita pahami? Berbagai pertanyaan muncul berhubungan dengan penggunaan mantram dalam acara persembahyangan. Dalam melaksanakan Tri Sandhyā, sembahyang dan berdoa setiap umat Hindu sepatutnya menggunakan mantram, namun bila tidak memahami makna mantram, maka sebaiknya menggunakan bahasa hati atau bahasa ibu, bahasa yang paling dipahami oleh seseorang yang dalam tradisi Bali disebut "Sehe" atau "ujuk-ujuk" dalam bahasa Jawa.
Mengapa penggunaan mantra sangat diperlukan dalam sembahyang?
Terhadap pertanyaan ini dapat dijelaskan bahwa sesuai dengan makna kata mantra, yakni alat untuk mengikatkan pikiran kepada obyek yang dipuja. Pernyataan ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mampu mengucapkan mantra sebanyak-banyaknya, melainkan ada mantra-mantra yang merupakan ciri atau identitas seorang penganut Hindu yang taat, yakni setiap umat Hindu paling tidak mampu mengucapkan mantra sembahyang Tri Sandhyā, Kramaning Sembah dan doa-doa tertentu, misalnya mantram sebelum makan, sebelum bepergian, mohon kesembuhan dan lain-lain. Umumnya umat Hindu di seluruh dunia mengenal Gāyatrῑ mantram, mantram-mantram ŚubhaSitā (yang memberikan rasa bahagia dan kegembiraan) termasuk Mahāmṛtyuñjaya (doa kesembuhan / mengatasi kematian), Śāntipatha (mohon ketenangan dan kedamaian) dan lain-lain.
Sebelum lebih jauh menguraikan tentang fungsi atau manfaat pengucapan mantram, maka sangat baik pula dipahami perbedaan pengertian antara mantram, stuti, stava, pūjā atau stotra, sūtra dan śloka. Mantram pada umumnya adalah untuk menyebutkan syair-syair yang merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut Śruti. Dalam pengertian ini, yang termasuk dalam pengertian mantram adalah seluruh syair dalam kitab-kitab Saṁhitā (Ṛgveda, Yajurveda, Sāmaveda, Atharvaveda), Brāhmana (Śatapatha, Gopatha, dan lain-lain), Āranyaka (Taittirῑya, Bṛhadāranyaka, dan lain-lain) dan seluruh Upaniṣad (Chāndogya, ῑśa, Kena, dan lain-lain).
Di samping pengertian mantram seperti tersebut di atas, syair-syair untuk pemujaan yang tidak di ambil dari kitab Śruti, sebagian diambil dari kitab-kitab Itihāsa, Purāṇa, kitab-kitab Āgama dan Tantra juga disebut mantra, termasuk pula mantram para pandita Hindu di Bali. Mantram-mantram ini digolongkan ke dalam kelompok stuti, stava, stotra, dan pūja. Selanjutnya yang dimaksud dengan sūtra adalah kalimat-kalimat singkat yang mengandung makna yang dalam seperti kitab Yogasūtra oleh mahaṛṣi Patañjali, Brahmasūtra oleh Badarāyana dan lain-lain, sedang śloka adalah syair-syair yang dipakai dalam kitab-kitab Itihāsa dan Puæāna, termasuk seluruh kitab-kitab sastra agama setelah kitab-kitab Itihāsa dan Purāna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar