Selasa, 25 Oktober 2011

Keampuhan Gayatri Mantra

Keampuhan Gayatri Mantram, yang merupakan bait pertama dari Tri Sandhya memang sudah tidak diragukan lagi. Saya banyak mendapatkan keajaiban dalam pekerjaan maupun kehidupan dalam keluarga. Banyak hal-hal yang sebelumnya hanya merupakan angan-angan/hayalan saya saja, ternyata bisa terwujud dengan cara yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Meski disamping berdoa, usaha keras adalah faktor utamanya.

Saya punya pengalaman pribadi mengenai Gayatri Mantram.

Dulu sebelum saya ketemu mertua di Sumatera selama lebih kurang 4 minggu-an, terus terang saya tidak begitu rajin melaksanakan ritual resmi dengan duduk bersimpuh/berdiri 2 atau 3 kali setiap hari. Sebelumnya saya sembahyang hanya saat Purnama dan Tilem saja, itupun kalo sedang tidak kambuh penyakit malasnya.

Beberapa tahun yang lalu saya menikah dengan seorang gadis muslim. Dia adalah anak ketiga dari empat bersaudara yang semuanya perempuan. Jalan menuju pernikahan saya tidaklah mudah, karena orang tua kedua belah pihak tidak setuju dengan perkawinan kami.

Dari pihak istri saya sudah jelas, kalau tidak dibenarkan untuk meninggalkan agamanya, yang diistilahkan dengan Murtad.

Karena itulah pernikahan saya dilaksanakan di Bali dengan sederhana dan tanpa adanya kehadiran orangtua dari pihak istri pada acara itu.

Beberapa Bulan kemudian mereka mengetahui kalau anaknya telah menikah dan memeluk agama Hindu jauh sebelum acara pernikahan saya, melalui sebuah surat yang saya dan istri kirimkan.

Setelah lebih dari setahun sejak saya menikah, saya diundang mertua untuk datang menjenguk mereka (Silaturahmi) di Pulau Sumatera. Pada suatu saat mertua saya berkata dengan sangat hati-hati kepada saya: kalau dengan salat 5 waktu, maka apapun yang kita inginkan/minta, maka Allah pasti akan mengabulkannya.

Tergerak dari kata-kata itu, untuk membuktikan kalau Hindu juga punya Tri Sandhya dan punya Ida Sanghyang Widhi, maka pada hari pertama ketika beliau hendak memperlihatkan kepada saya cara beliau Salat, saya mengatakan: “Maaf, ini waktunya saya sembahyang juga” dan sayapun berTri Sandhya di kamar yang terpisah bersama istri saya.

Karena beliau menunaikan Salatnya 5 kali sehari, empat kali dirumah sedang yang satunya lagi dikantor beliau, maka saat Salat yang ke-5 (Salat Isa), dimana saya sedang tidak melakukan kegiatan Tri Sandhya, saya dimohon oleh beliau untuk melihat bagaimana beliau menunaikan Salatnya.

Setelah beliau menunaikan Salatnya saya melihat beliau menitikkan air mata, serta berkata dengan nada sedih(kurang lebih): “Seandainya saja kamu bisa seperti bapak untuk menjadi imam dari anak kesayangan bapak dan cucu-cucu bapak kelak, alangkah tenangnya hati kami. Dan sorgalah jaminannya bagi seseorang yang mau memeluk Agama kami.”

Hati beliau sangat terpukul dan merasa sangat sedih karena anaknya pindah agama yang berbeda dengan beliau. Beliau sangat takut anak kesayangannya masuk neraka seperti yang tercantum dalam AlQur’an karena sudah murtad meninggalkan Agamanya. Beliaupun takut karena dijelaskan juga bahwa sebagian besar dari isi Neraka adalah perempuan.

Mertua saya adalah orang tua yang paling baik yang pernah saya kenal dari segi keharmonisan keluarga, tetapi dalam soal keyakinan, dengan sangat sedih dan menyesal saya beserta istri tidak dapat melaksanakan harapan mereka untuk meninggalkan ke-Hinduan kami.

Ironisnya, pada kenyataannya beberapa orang Hindu/Bali belum tentu merasa senang dengan kehadiran istri saya sebagai orang Hindu Baru. Sangat jauh perbedaannya dengan orang Hindu yang pindah agama, dimana mereka disambut dengan hangat kehadirannya.

Di dalam setiap kesempatan berdoa bersama, saya dan istri selalu memohon pengampunan atas dosa kami karena telah membuat mertua dan orang tua istri saya menitikkan air mata, serta sekaligus memohonkan keselamatan dan kesehatan bagi mereka.

Dan sejak kejadian itulah, demi menyaksikan mertua saya mampu menunaikan salat 5 waktu tanpa ada yang ketinggalan, maka sayapun merasa terpacu dan bertekad harus bisa berGayatri mantram minimal dua kali dalam sehari, yaitu pagi setelah mandi/sebelum mulai beraktifitas, dan sore hari sepulang kantor setelah mandi. Kalau melaksanakan pada siang hari rasanya kurang konsentrasi jika harus berTrisandhya di kantor.

Doa itu belum termasuk doa sebelum tidur dan saat baru bangun tidur.
Anak saya yang berumur 7 tahunpun sudah bisa menuntun adiknya sembahyang dengan Gayatri mantram bila istri saya sedang berhalangan masuk pura, sedangkan saya sendiri bekerja jauh dan sedang tidak bersama mereka di Indonesia.

Penulis sedang mengikuti training di Johar Baru, Malaysia.

oleh IB. Tamtam S.

sumber : http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/1692.htm

1 komentar: