Selasa, 14 Februari 2012

Banten Caru Eka Sata

QUESTION:
1. Selama ini di Pura yang kami sungsung, setiap Tilem Kesanga selalu menghaturkan banten Caru Eka Sata (Caru Ayam Brumbun) untuk ke Bhuta Yadnya, disertai runtutan banten lain yang melengkapinya seperti pengulapan, pengambean, sorohan, peras, daksina, suci alit, Beakaonan, sesayut Durmenggala, dan prayascita dll sesuai yang tertulis di Buku Panca Yadnya.
Sedangkan untuk ke Dewa Yadnya kami hanya menghaturkan Pejati (Peras, daksina, tipat kelanan, ajuman, penyeneng alit, pesucian) dan soda/ ajuman untuk pelinggih yang keci-kecil.
Apakah yang kami lakukan sudah benar dan sudah seimbang antara ke Bhuta Yadnya dan Dewa Yadnya? Apakah untuk ke Dewa Yadnya kami perlu menambahkan banten ayaban sorohan tumpeng pitu/ tumpeng solas?
2. Banten ayaban sorohan tumpeng pitu titiang sampun sering membuatnya, namun titiang ingin menanyakan mengenai ayaban tumpeng solas, karena perbedaan tradisi/ sima beberapa desa yang berbeda membuat titiang agak bingung. Dalam bentuk banten apakah perbedaan empat tumpeng antara ayaban tumpeng pitu dan tumpeng solas?
3. Kembali ke Banten Pecaruan Tilem Kesanga ada disebutkan bahwa di bawah Sanggah Pesaksi diletakkan sebuah banten Gelar Sanga, dan tertulis di buku fungsinya untuk Ngelebar Ide Betare. Namun titiang belum terlalu paham akan hal ini, mohon penjelasan Ratu Bhagawan.
4. Kebetulan kami Ring Banjar akan membangun sebuah Bale Gong, dan menurut yang titiang baca, mulai dari upacara Pengeruak, Nasarin, Memakuh dan Melaspas, setiap upakara untuk masing-masing upacara tersebut semuanya selalu memakai banten Caru.
Namun mengingat banten Caru begitu rumit serta waktu dan sarana yang terbatas, karena diantara ibu-ibu warga kami termasuk titiang sendiri adalah karyawan, oleh kerena itu untuk keadaan tertentu yang sifatnya darurat, bisakah banten Caru tersebut diganti dengan Segehan Agung
Maafkan atas kebodohan dan keterbatasan pengetahuan titiang, karena selama ini kami lebih sering mohon bantuan ke daerah Trans, untuk setiap pembuatan banten Caru ataupun banten/ upakara lainnya dalam setiap pecaruan atau Piodalan di pura. Kali ini karena kami ingin belajar membuatnya sendiri namun masih banyak hal yang membingungkan kami.
ANSWER:
1. Jika banten caru eka-sata, tidak perlu memakai suci, cukup dengan pejati (tegteg – daksina – peras – ajuman). Kalau carunya panca sata, barulah memakai suci madya/ agung.
Banten di palinggih sudah cukup seperti itu, tidak perlu ditambah tumpeng 7/11, tetapi kalau ditambah dengan pasipatan 1 buah untuk di Padmasana (daksina gede dengan 4 butir kelapa) bagus juga. Yang dimaksud dengan banten tumpeng 7/11 adalah banyaknya dulang sesayut. Jika tumpeng 7 maka sesayutnya adalah 7 dulang/ jenis, jika tumpeng 11 sesayutnya 11 dulang/ jenis (lihat daftar sesayut, dan pilih yang berkaitan dengan yadnya termaksud.
Tumpeng 7/11 hanya digunakan bila ngturang piodalan agung atau karya mamungkah atau mapedudusan madya. Kalau ngaturang tumpeng 7/11 maka hulu banten harus catur rebah untuk tumpeng 7 dan catur niri untuk tumpeng 11. Pecaruannya juga sedikitnya Rsi Gana dengan dasar manca sanak.
2. Sudah dijawab di atas.
Contoh banten tumpeng 11:
  • sesayut sida lungguh
  • sesayut tirta amerta sari
  • sesayut candi kusuma
  • sesayut ratu agung
  • sesayut tilik jati
  • sesayut dharma wiku
  • sesayut ider bhuwana
  • sesayut prayascita kawi
  • sesayut munggah tapa
  • sesayut giri kencana muka
  • sesayut panca lingga
Contoh banten tumpeng pitu:
  • mulai dari sesayut tilik jati sampai ke bawah: sesayut panca lingga.
3. Bila carunya hanya eka sata, tidak perlu memakai gelar sanga. Jika pecaruannya panca sata, barulah menggunakan gelar sanga.
4. Bila hanya untuk Bale Gong (bukan pelinggih Ida Bhatara), boleh menggunakan segehan agung saja.
Tidak perlu berkecil hati. Saya bahkan memuji semangat Ibu untuk tetap mempertahankan tradisi beragama Hindu seperti itu. Dan untuk melaksanakan upacara, upakara-nya tidak perlu terlalu besar atau terlalu dipaksakan. Yang penting ada keseimbangan hulu – teben, dan hati yang tulus untuk melakukan. Itulah yang dinamakan satwika Yadnya.

Sosialisasi Banten

QUESTION:
Apakah sajen yang berkembang di Bali ini perlu kita sosialisasikan kepada umat Hindu asli Jawa/ Sumatera yang notabena sajennya lebih sederhana?
ANSWER:
Pendapat saya singkat saja: Membaca sejarah/ babad/ prasasti-prasasti/ pelelutuk yang ada di Bali (antara lain: Markandeya Tattwa, Tutur Kuturan, Sanghyang Aji Swamandala, Gong Besi, Dwijendra Tattwa), maka: Upakara yang juga dinamakan: banten, bali, hanya bagi umat Hindu yang di Bali, atau bagi umat Hindu Bali yang merantau keluar Bali.
Sebabnya:
Maha Rsi Markandeya yang datang ke Bali pada abad ke-8 mendapat wahyu bahwa umat Hindu di Bali perlu:
1. Melengkapi upakara dengan bentuk sesajen, yang kemudian bernama bali. Jadi nama bali berasal dari hal tersebut, artinya yaitu: sajen/ banten/ upakara.
Orang yang memuja Tuhan dengan sarana banten/ bali dinamakan orang Bali. Tempat mereka tinggal dinamakan tanah/ pulau Bali.
2. Pada awal kedatangan Maha Rsi Markandeya, beliau tidak tahu bahwa tata-cara di Bali harus menggunakan banten/ upakara. Maka pengikutnya yang berjumlah 400 orang terkena bencana dan meninggal dunia.
Beliau kemudian kembali ke Gunung Raung, bersamadhi, di situlah beliau mendapat ‘petunjuk’ dari Yang Maha Kuasa, bahwa Bali jangan disamakan dengan pulau lain.
Maka beliau kembali ke Bali, melakukan ritual sesuai dengan ‘petunjuk’ menggunakan banten dan ‘mendem panca datu’ di Besakih. Selamatlah beliau beserta pengikutnya, dan berkembanglah banten di Bali.
Umat Hindu dari etnis lain di luar Bali, silahkan menggunakan tradisi mereka masing-masing, jangan dipaksakan menggunakan banten, karena sejak dahulu kala, Hindu di Jawa/ Majapahit menggunakan sesajen yang berbeda dengan banten di Bali.

Makna Banten Bagi Umat Hindu di Bali dan Masalahnya Kini

Pada Mahasabha VIII PHDI yang digelar di Hotel Radison Denpasar bulan September tahun 2001 yang lalu, saya sempat berbincang dengan saudara kita umat Hindu asal Banten utusan Jawa Barat.
Dia mengatakan bukti kita bersaudara sangat kuat, karena upakara yang dikatakan di Bali sebagai “Banten”, di Banten disebut sebagai “Bali”. Dalam Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandeya, disebutkan bahwa Maha Rsi bersama pengikutnya membuka daerah baru pada Tahun Saka 858 di Puakan (Taro – Tegal Lalang, Gianyar, sekarang) .
Kemudian mengajarkan cara membuat berbagai bentuk upakara sebagai sarana upacara, mula-mula terbatas kepada para pengikutnya saja, lama kelamaan berkembang ke penduduk lain di sekitar Desa Taro.
Jenis upakara yang menggunakan bahan baku daun, bunga, buah, air, dan api disebut “Bali”, sehingga penduduk yang melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara itu disebut sebagai orang-orang Bali. Jadi yang dinamakan orang Bali mula-mula adalah penduduk Taro.
Lama kelamaan ajaran Maha Rsi Markandeya ini berkembang ke seluruh pulau, sehingga pulau ini dinamakan Pulau Bali, dalam pengertian pulau yang dihuni oleh orang-orang Bali, lebih tegas lagi pulau di mana penduduknya melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara (Bali).
Tradisi beragama dengan menggunakan banten kemudian dikembangkan oleh Maha Rsi lain seperti: Mpu Sangkulputih, Mpu Kuturan, Mpu Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, dan Mpu Nirartha.
Sejak kapan sarana upakara itu berubah nama dari “Bali” menjadi “Banten” dan mengapa demikian, sulit mencari sumber sastranya. Beberapa Sulinggih yang saya hubungi ada yang menyatakan bahwa banten asal kata dari wanten mengalami perubahan dari kata wantu atau bantu.
Jadi banten adalah alat bantu dalam pemujaan, sehingga timbul pengertian bahwa bali atau banten adalah “niyasa” atau simbol keagamaan.
Umat Hindu melaksanakan ajaran Agama-nya antara lain melalui empat jalan/ cara (marga), yaitu: Bhakti marga, Karma marga, Jnana marga, dan Raja marga.
Bhakti marga dan Karma marga dilaksanakan sebagai tahap pertama yang lazim disebut sebagai “Apara bhakti”, sedangkan tahap berikutnya sesuai dengan kemampuan nalar diri masing-masing dilaksanakan Jnana marga dan Raja marga yang disebut sebagai “Para bhakti”.
Pada tahap apara bhakti pemujaan dilaksanakan dengan banyak menggunakan alat-alat bantu seperti banten, simbol-simbol dan jenis upakara lainnya, seterusnya pada tahap para bhakti penggunaan banten dan simbol-simbol lainnya berkurang.
Umumnya di Bali keempat marga itu dilaksanakan sekaligus dalam bentuk upacara Agama dengan menggunakan sarana banten yang terdiri dari bahan pokok: daun, bunga, buah, air ,dan api. Sarana-sarana itu mempunyai fungsi sebagai:
  1. Persembahan atau tanda terima kasih kepada Hyang Widhi.
  2. Sebagai alat konsentrasi memuja Hyang Widhi.
  3. Sebagai simbol Hyang Widhi atau manifestasi-Nya.
  4. Sebagai alat pensucian.
  5. Sebagai pengganti mantra.
Karena demikian sakralnya makna banten maka dalam Yadnya prakerti disebutkan bahwa mereka yang membuat banten hendaknya dapat berkonsentrasi kepada siapa banten itu akan dihaturkan/ dipersembahkan.
Dalam Buku Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu sebagai hasil Paruman Sulinggih yang disahkan PHDI disebutkan bahwa seorang Tukang Banten hendaknya sudah mensucikan diri dengan upacara Pawintenan (sekurang-kurangnya ayaban Bebangkit).
Tujuannya adalah agar Tukang Banten sudah mengetahui tata cara dan aturan-aturan dalam membuat banten misalnya dengan konsentrasi penuh melaksanakan amanat pemesan banten yang akan mempersembahkannya kepada Hyang Widhi.
Di kala membuat banten kesucian dan kedamaian hati tetap terjaga, antara lain tidak mengeluarkan kata-kata kasar, tidak dalam keadaan kesal atau sedih, tidak sedang cuntaka, tidak sedang berpakaian yang tidak pantas, menggaruk-garuk anggota badan, atau membuat banten di sembarang tempat.
Disimpulkan bahwa ketika membuat banten, dikondisikan situasi yang suci, sakral, konsentrasi penuh, rasa bhakti dan kasih sayang kepada Hyang Widhi. Lihatlah ketika banten disiapkan untuk upacara besar di Besakih, tempat membuat banten disebut sebagai “Pesucian” yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang atau orang yang tidak berkepentingan.
“Dewasa” atau hari baik untuk mulai membuat banten ditetapkan dengan teliti oleh para Sulinggih. Dalam puja-stuti pereresik banten juga diucapkan doa agar banten tidak dilangkahi anjing, ayam, atau dipegang oleh anak kecil, atau orang yang sedang cuntaka. Beberapa jenis banten utama bahkan hanya boleh dibuat oleh Sang Dwijati, misalnya Catur, dan Pangenteg Gumi.
Untuk menegaskan penting dan sakralnya banten, Mpu Jiwaya salah seorang tokoh pemimpin Agama di abad ke-10 mengajarkan membuat “reringgitan” dengan bahan daun kelapa, enau atau lontar. Reringgitan itu kadang demikian sulit sehingga konsentrasi kita harus penuh. Jika tidak, bisa reringgitannya rusak atau tangannya yang teriris pisau.
Makna membuat banten seperti yang dikemukakan di atas tiada lain agar kita dapat mewujudkan rasa bhakti dan kasih sayang kepada Hyang Widhi.
Zaman beredar dan kini kita hidup di zaman millennium. Kemampuan kita menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi zaman ini diuji dengan berbagai masalah, antar lain:
  1. Kelangkaan bahan-bahan baku banten.
  2. Waktu yang terbatas untuk membuat banten.
  3. Tidak semua umat Hindu di Bali bisa membuat banten sendiri.
Tentang kelangkaan bahan-bahan baku banten sudah kita maklumi, karena busung, pisang, kelapa, telur, bebek, dan ayam, tidak sedikit yang sudah didatangkan dari luar Bali antara lain: Sulawesi, Lombok, dan Jawa.
Waktu yang terbatas bagi umat Hindu di Bali dalam menyiapkan sarana-sarana upakara menyebabkan sebagian besar umat Hindu membeli banten dari tukang-tukang banten, istilahnya “nunas puput”. Generasi muda mulai bertanya-tanya, mengapa kok melaksanakan ajaran Agama Hindu di Bali dalam bentuk ritual/ upacara menjadi sangat sulit dan mahal.
“Model” umat Hindu-Bali di perkotaan melaksanakan upacara yadnya kini terlihat sudah lumrah seperti: sewa tenda, sewa korsi, pesan katering, dan nunas ayaban di Geria lengkap dengan Sulinggih yang muput. Serba praktis dan ekonomis walaupun segi-segi adat-dresta kegotong-royongan hilang, dan segi sakral membuat banten pada Sang Yajamana hilang.
Jika dikaitkan dengan ajaran Maha Rsi Markandeya dan Mpu Jiwaya seperti diuraikan di atas, agaknya hal yang paling patut dipikirkan adalah segi sakralnya suatu banten.
Apalah artinya banten jika Sang Yajamana tidak mengerti dengan makna banten yang dipersembahkan kepada Hyang Widhi. Ibaratnya kita memberikan sesuatu kepada orang tua kita tetapi ketika ditanya orang lain, apa yang kamu berikan pada orang tuamu? Jawabannya ya, nggak tau! Aneh bukan?
Fenomena seperti itu akan terus berkembang lebih-lebih bilamana dalam suatu rumah tangga sang ayah dan sang ibu masing-masing sibuk dengan profesinya mencari nafkah karena tuntutan kebutuhan hidup yang makin banyak.
Konsep-konsep Manawadharmasastra yang mengatur pembagian tugas pekerjaan rumah tangga antara suami/ istri banyak tidak berlaku lagi. Suami mestinya menghidupi keluarga, dan Istri mestinya mengurus rumah, terutama masalah Panca yadnya dan dengan sendirinya membuat banten.
Adakah jalan keluar menghadapi fenomena seperti itu? Untuk ini ada beberapa hal yang perlu dikemukakan:
1. Dalam banyak kitab suci antara lain: Manawadharmasastra, Parasaradharmasastra, dll. disebutkan bahwa cara kita beragama di setiap zaman tidaklah sama. Di zaman Kali seperti sekarang ini, cara kita beragama mestinya lebih menekankan pada pencurahan kasih sayang kepada sesama manusia misalnya dalam bentuk dana punia.
2. Namun demikian tidak berarti bahwa kegiatan ritual keagaman dalam bentuk upacara-upacara yadnya diabaikan. Upacara itu tetap dilaksanakan namun para Sulinggih diharap memberikan dharmawacana agar sang yajamana mengerti dengan makna upacara yadnya yang diselenggarakannya.
3. Sesuai dengan konsep Desa-Kala-Patra maka umat Hindu di Bali diharapkan menyelenggarkan upacara yadnya sesuai dengan kemampuan finansial yang nyata dan waktu yang luang.
Oleh karena itu banten yang dikategorikan dalam kelompok: alit-madya-ageng hendaknya dijelaskan oleh para Sulinggih kepada umat secara luas, dengan menekankan bahwa banten yang alit tidak berarti nilainya lebih rendah dari banten yang madya-utama, demikian sebaliknya, karena hakekat banten adalah curahan rasa bhakti dan kasih kepada Hyang Widhi.
Janganlah sampai umat kita menghadapi kesulitan atau menjadi miskin karena melaksanakan upacara yadnya secara keliru, yaitu membeli banten melebihi batas kemampuan finansialnya yang nyata.
4. Apabila terpaksa membeli banten, belilah dari orang yang diyakini memenuhi syarat sebagai tukang banten.
5. Para tukang banten hendaknya turut memikirkan dan mengupayakan bagaimana caranya agar umat kita tidak terlalu mahal membeli banten, lebih-lebih jika diingat bahwa tukang banten adalah kelompok orang yang disucikan dan dengan demikian diharapkan sudah mampu menguasai “Sad-ripu” yang ada dalam dirinya sendiri.
Demikianlah sumbangan tulisan ini dan berharap semoga ada manfaatnya bagi para pembaca.

Doa Bagi Yang Sakit, Sekarat, Baru Meninggal, dan Nyekah

1. Doa/ Mantra bagi yang sakit
OM VATA A VATU BHESAJAM, SAMBHU MAYOBHU NO HRDE, PRA NA AYUMSI TARISAT
Ya Hyang Widhi semoga Hyang Vayu menghembuskan angin sejuk, Vayu yang memberikan kesehatan dan kesejahteraan, semoga Ia memberikan umur panjang (Rgveda X.186.1)
2. Doa/ Mantra bagi yang sekarat
OM BHUR BHUVAH SVAH; OM TAT SAVITUR VARENYAM, BHARGO DEVASYA DHIMAHI, DHIYO YO NAH PRACODAYAT, SRIM
Oh Ibu Devata, Gayatri-Laksmi, paduka berkenan dengan bhakti hamba, paduka akan memberkahi kesehatan, kedamaian dan keinginan hamba, sembah sujud hamba (Sadhana Gayatri, Pengucapan mantra ini dengan meditasi dan dibantu tasbih, diulang-ulang kalau bisa 108 kali)
3. Doa/ Mantra bagi yang baru meninggal dunia
OM VAYUR ANILAM AMRTAM, ATHEDAM BHASMANTAM SARIRAM, OM KRATO SMARA KLIBE SMARA KRTAM SMARA
Ya Hyang Widhi, penguasa hidup, pada saat kematian ini semoga ia mengingat vijaksara suci OM, semoga ia mengingat Engkau Yang Mahakuasa dan kekal abadi, ingat pula kepada karmanya. Semoga ia mengetahui bahwa atma adalah abadi dan badan ini akhirnya akan hancur menjadi abu (Yayurveda XL 15)
4. Doa/ Mantra pada upacara Pitra Yadnya yaitu waktu nyekah
OM DEWA PITARA SARWA PARIWARA GUNA SWAHA, HARSAYAH SAWA PUJANAM PRASIDANTU SUKA KRTAM, OM A – TA – SA – BA – I, OM WA – SI – NA – NA – YA MANG ANG UNG, MOKSHANTU, SWARGANTU, SUNIYANTU, ANG KSAMA SAMPURNA YA NAMAH SWAHA
Oh Hyang Widhi, yang menguasai roh leluhur kami, hamba memuja-Mu agar segala sesuatunya berjalan baik, semoga roh leluhur kami mencapai kebebasan, kedamaian, ketenangan, dan kesempurnaan (Lontar Yama Purana Tattwa)
PENJELASAN:
Ketika mendengar atau mengunjungi yang sakit, kita mohon kepada Hyang Widhi agar ia cepat sembuh.
Ketika mendengar atau mengunjungi yang sekarat, tetap kita mohon kepada-Nya agar diberikan mukjizat ia sembuh/ hidup.
Namun bila ia pada akhirnya meninggal dunia, maka kita pun mohon kepada-Nya agar roh/ atmannya pergi dengan tenang menuju kepada Hyang Widhi.
Ketika dilaksanakan upacara Pitra Yadnya barulah kita mohon agar rohnya mencapai kebebasan, kedamaian ketenangan, dan kesempurnaan.
Kebebasan artinya roh terlepas dari ikatan Panca Mahabutha (tubuh) melalui prosesi Ngaben, ketenangan artinya roh terlepas dari ikatan Panca Tanmatra (kenikmatan panca indra ketika masih hidup) melalui prosesi Nyekah, dan kesempurnaan artinya atman/ roh bersatu dengan Brahman/ Hyang Widhi (amoring acintya).
Jadi bila belum diupacarai Pitra Yadnya doa/ mantra itu kurang tepat diucapkan karena roh/ atman masih terikat.

Upacara Potong Gigi Bagi Orang Tua yang Sudah Meninggal

QUESTION:
  1. Apakah boleh orang tua yang sudah meninggal diadakan upacara mepandes/ potong gigi lagi, karena pada waktu masih hidup belum dilaksanakan upacara/ upakaranya.
  2. Pada zaman dahulu upacara pawiwahan tidak dijalankan secara tuntas menurut sastra agama, dalam arti tidak nunas ring Sanggah Kamulan/ Kawitan. Sang Ibu sudah meninggal, sudah di-aben, dan atma wedana; apakah boleh ditunas ke Pamerajan sang Ibu (setelah upacara tsb. di atas).
ANSWER:
1. Tujuan upacara mepandes pada hakekatnya adalah mengendalikan Sad Ripu (enam musuh manusia), yaitu:
  1. Kama (keinginan)
  2. Kroda (kemarahan)
  3. Lhoba (tamak)
  4. Moha (gejolak hawa nafsu)
  5. Mada (kemabukan)
  6. Matsarya (cemburu/ iri hati)
Oleh karena sudah meninggal dunia, tentu sad ripu itu sudah tidak ada.
Selain itu tujuan lain mepandes adalah meningkatkan status manusia dari masa anak-anak ke masa remaja. Inipun sudah tidak berguna jika manusia sudah meninggal dunia.
Di samping itu sesuai dengan Lontar Kuna Dresti, memotong gigi sang lina (mayat) sama dengan membunuh bayi dalam kandungan, akan dikutuk oleh Bethara Yama.
2. Harus dilakukan upacara nunas kemerajan sang Ibu dengan cara ngadegang sang Pitara. Jika tidak demikian arwah sang pitara terumbang-ambing.

Berbakti Kepada Orang Tua Adalah Suatu Kewajiban

PENDAHULUAN
Dalam kitab Taittiriya Upanisad disebutkan bahwa ayah dan ibu itu adalah ibarat perwujudan Deva dalam keluarga: “Pitri deva bhava, matri deva bhava”. Vana Parva 27,214 menyebutkan bahwa ayah dan ibu termasuk sebagai Guru, di samping Agni, Atman, dan Rsi.
Di Bali ayah dan ibu disebut sebagai Guru Rupaka di samping Hyang Widhi sebagai Guru Svadyaya, pemerintah sebagai Guru Visesa, dan para pengajar sebagai Guru Pengajian.
Ada lima hal yang menyebabkan anak-anak harus berbakti kepada ayah dan ibunya, yang dalam kekawin Nitisastra VIII.3 disebut sebagai Panca Vida, yaitu:
1. Sang Ametwaken, karena pertemuan (hubungan suami/ istri) ayah dan ibu maka lahirlah anak-anak dari kandungan ibu.
Perjalanan hidup ayah dan ibu sejak kecil hingga dewasa, kemudian menempuh kehidupan Gryahasta, sampai mengandung bayi dan selanjutnya melahirkan, dipenuhi dengan pengorbanan-pengorbanan.
2. Sang Nitya Maweh Bhinojana, ayah dan ibu selalu mengusahakan memberi makan kepada anak-anaknya.
Bahkan tidak jarang dalam keadaan kesulitan ekonomi, ayah dan ibu rela berkorban tidak makan, namun mendahulukan anak-anaknya mendapat makanan yang layak. Ibu memberi air susu kepada anaknya, cairan yang keluar dari tubuhnya sendiri.
3. Sang Mangu Padyaya, ayah dan ibu menjadi pendidik dan pengajar utama.
Sejak bayi anak-anak diajari menyuap nasi, merangkak, berdiri, berbicara, sampai menyekolahkan. Pendidikan dan pengajaran oleh ayah dan ibu merupakan dasar pengetahuan bagi kesejahteraan anak-anaknya di kemudian hari.
4. Sang Anyangaskara, ayah dan ibu melakukan upacara-upacara manusa yadnya bagi anak-anaknya dengan tujuan mensucikan atma dan stula sarira.
Upacara-upacara itu sejak bayi dalam kandungan sampai lahir, besar dan dewasa: Magedong-gedongan, Embas rare, Kepus udel, Tutug Kambuhan, Telu bulanan, Otonan, Menek kelih, Mepandes, Pawiwahan.
5. Sang Matulung Urip Rikalaning Baya, ayah dan ibulah pembela anak-anaknya bila menghadapi bahaya, menghindarkan serangan penyakit dan menyelamatkan nyawa anak-anaknya dari bahaya lainnya.
    PAHALA BAGI ANAK-ANAK YANG BERBHAKTI KEPADA ORANG TUA
    Dalam kitab suci Sarasamuscaya disebutkan ada empat pahala yang diterima oleh anak-anak yang berbakti kepada orang tua:
    1. Kirti.
    Selalu dipuji dan didoakan untuk mendapatkan kerahayuan oleh sanak keluarga dan orang-orang lain keluarga, karena dipandang terhormat.
    Puji dan doa yang positif seperti itu akan mendorong aktivitas dan gairah kehidupan sehingga anak-anak akan menjadi lebih meningkat kualitas kehidupannya.
    2. Ayusa. Berumur panjang dan sehat.
    Umur panjang dan sehat sangat diperlukan agar manusia dapat menempuh tahapan-tahapan kehidupannya dengan sempurnya, yaitu melalui Catur ashrama: Brahmacarya, gryahasta, wanaprastha, dan bhiksuka.
    Brahmacarya adalah masa menempuh pendidikan, gryahastha adalah masa berumah tangga dan mengembangkan keturunan, wanaprastha adalah masa menyiapkan diri menuju kehidupan yang lebih suci, dan bhiksuka adalah masa kehidupan yang suci, lepas dari ikatan-ikatan keduniawian.
    3. Bala.
    Mempunyai kekuatan yang tangguh dalam menempuh kehidupan baik ketangguhan yang berupa pemenuhan kebutuhan hidup, kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan, dan juga ketangguhan dalam arti menguatkan kesucian mental/ rohani.
    4. Yasa Pattinggal Rahayu.
    Kebaktian pada orang tua akan menjadi contoh bagi keturunan selanjutnya dan akan dilanjutkan, sehingga bila anak-anak sudah menjadi tua atau meninggal dunia, secara sambung menyambung para keturunannya-pun akan menghormati dan berbakti kepadanya, karena kebaktian itu sudah menjadi tradisi yang baik di dalam keluarganya.
      KESIMPULAN
      Hubungan antara suami dan istri sejak awal perkawinan merupakan dasar yang menentukan bagi kehidupan rumah tangga selanjutnya menuju kebahagian hubungan suami-istri-dan anak-anak.
      Sedangkan di dalam perkawinan, peranan istri-lah yang dominan dalam arti bahwa wanita merupakan kunci utama kebahagiaan rumah tangga.
      Sebagaimana disebutkan dalam Manawa Dharmasastra di atas, bahwa bilamana seorang istri merasa bahagia maka berbahagia pulalah rumah tangga itu. Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang baik hendaklah sejak kecil dididik agar berbakti kepada orang tua.
      Orang tua melimpahkan kasih sayangnya kepada anak-anak dalam filosofi Agama Hindu adalah karena keyakinan bahwa roh yang menjelma menjadi anak-anak adalah roh leluhurnya sendiri.
      Oleh karena itu hubungan antara manusia dengan roh leluhur mempunyai jalinan yang kuat dalam kaitan kepercayaan Atma tattwa dengan kepercayaan Punarbhawa.
      Sebagaimana diuraikan di atas, kewajiban orang tua kepada anak-anak dimulai sejak jabang bayi masih dalam kandungan sampai anak-anak lahir menjadi besar dan menempuh kehidupan perkawinan.
      Kewajiban itu digolongkan sebagai kewajiban skala (nyata) dan kewajiban niskala (tidak nyata).
      Kewajiban skala adalah kewajiban memelihara secara fisik dan mental misalnya mencukupi kebutuhan sandang-pangan dan pendidikan.
      Kewajiban niskala adalah kewajiban menyelenggarakan upacara-upacara manusa yadnya mulai dari magedong-gedongan sampai pawiwahan.
      Setelah anak-anak mandiri dan berkeluarga maka berbaliklah kewjiban itu, bahwa anak-anak harus merawat dan memelihara orang tuanya sampai meninggal dunia, yaitu menjaga kesehatan, kegembiraan, dan kebahagiaan hidup, menyelenggarakan pitra yadnya dan mensucikan roh ayah-ibunya.
      Demikianlah kehidupan ini berputar terus secara timbal balik, sehingga dapatlah dikatakan bahwa filsafat Tattwamasi merupakan cahaya bagi kehidupan umat manusia di dunia.

      Belajar dan Pembelajaran Adalah Yadn

      Agama Hindu, atau Agama Veda, tidak hanya sekedar suatu Agama. Ia adalah jalan spiritual dan cara hidup. Veda diwahyukan bersamaan dengan kesadaran manusia akan kemampuannya berpikir. Hyang Widhi yang dalam Rg-Veda disebut sebagai Prajapati, telah ber-Yadnya menciptakan semesta dengan inti manusia sebagai ciptaan-Nya yang utama.
      Diantara mahluk-mahluk hidup, manusialah yang mempunyai kemampuan berpikir sehingga kepada manusia ajaran-ajaran Veda diwahyukan agar kehidupan semesta dapat terwujud sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat manusia.
      Hyang Widhi telah melakukan Yadnya sebagai suatu bentuk pengorbanan yang suci dan tulus ikhlas. Dengan demikian maka manusiapun melakukan yadnya dengan mengorbankan dirinya sendiri. Pengorbanan itu dapat berwujud dan dapat pula tidak berwujud.
      Pengorbanan yang berwujud berupa benda-benda dan kegiatan, sedangkan pengorbanan yang tidak berwujud adalah berupa “tapa” atau pengekangan indria dan pengendalian diri agar tidak menyimpang dari ajaran Veda.
      Pentingnya ber-yadnya bagi manusia, tersirat dari Bhagawadgita Bab III.9:
      YAJNARTHAT KARMANO NYATRA, LOKO YAM KARMABANDHANAH, TADARTHAM KARMA KAUNTEYA, MUKTASANGAH SAMACARA
      Artinya: Selain kegiatan yang dilakukan sebagai dan untuk yadnya, dunia ini juga terikat oleh hukum karma. Oleh karenanya lakukan tugasmu ber-yadnya, bebaskan diri dari semua ikatan; lakukan yadnya tanpa memikirkan hasil, dengan tulus ikhlas dan untuk Tuhan.
      Juga dalam Bhagawadgita Bab IV pasal 19 ada disebutkan tentang hal ini:
      YASYA SARVE SAMARAMBHAH, KAMASAMKALPAVARJITAH, JNANAGNIDAGDHAKARMANAM, TAM AHUH PANDITHAM BUDHAH
      Artinya: Ia yang segala perbuatannya tidak terikat oleh angan-angan akan hasilnya dan ia yang kepercayaannya dinyalakan oleh api pengetahuan, diberi gelar Pandita oleh orang-orang yang bijaksana.
      Berbagai bentuk yadnya dan nilai-nilai symbolisnya ditemukan dalam Bhagawadgita Bab IV pasal 23 sampai 30 di mana disimpulkan bahwa tiap-tiap usaha yang berakibat mengurangi rasa keakuan dan mengurangi nafsu rendah semata-mata untuk mewujudkan bhakti kepada Hyang Widhi, adalah pengorbanan.
      Oleh karena itu maka bentuk yadnya dapat digolongkan kedalam empat besar, yaitu: Widhi Yadnya, Druwya Yadnya, Jnana Yadnya, dan Tapa Yadnya.
      WIDHI YADNYA
      Widhi Yadnya adalah bentuk yadnya yang diadakan dengan berlatar belakang pada kehidupan manusia yang mempunyai “hutang-hutang” atau Rnam. Rnam itu ada tiga, yaitu Dewa Rnam, Rsi Rnam, dan Pitra Rnam.
      Dewa Rnam adalah hutang manusia kepada Hyang Widhi, karena berkat anugrah-Nya atman atau roh dapat ber-reinkarnasi menjadi manusia; Rsi Rnam adalah hutang manusia kepada para Maha-Rsi yang telah menyebarkan ajaran Veda sebagai pangkal ilmu pengetahuan sehingga manusia mempunyai kemampuan meningkatkan kualitas kehidupannya; Pitra Rnam adalah hutang manusia kepada leluhur sebagai yang mengembangkan keturunan.
      Manusia yang berbudi hendaknya menyadari adanya Tri Rnam ini serta melakukan yadnya sebagaimana disebutkan dalam Manawa Dharmasastra Buku ke-IV (Atha Caturtho Dhayah) pasal 21:
      RSI YAJNAM DEVAYADNAM BHUTA YAJNAM CA SARVADA, NRYAJNAM PITRYAJNAM CA YATHACAKTI NA HAPAYET
      Artinya: Hendaknya janganlah sampai lupa, jika mampu melaksanakan yadnya untuk para Rsi, para Dewa, kepada unsur-unsur alam (Bhuta), kepada sesama manusia dan kepada para leluhur.
      Ajaran ini berkembang di Nusantara sebagai “Panca Yadnya” dengan urutan: Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya.
      Tri Rnam “dibayar” dengan Panca Yadnya, sebab ada yadnya-yadnya yang bermakna atau bertujuan sama dalam kaitan Rnam, yaitu: Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya ada dalam kaitan Dewa Rnam; Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya ada dalam kaitan Pitra Rnam, dan Rsi Yadnya khusus untuk Rsi Rnam.
      DRUWYA YADNYA
      Druwya Yadnya adalah pengorbanan dalam bentuk materi yang diberikan kepada seseorang yang membutuhkan. Dalam keseharian Druwya Yadnya ini dikenal dengan kegiatan me-Dana Punia. Dana Punia yang dilakukan tanpa mengharap balas jasa itulah yang utama sebagaimana disebutkan dalam Bhagawadgita XVII pasal 20:
      DATAVYAM ITI YAD DANAM, DIYATE NUPAKARINE, DESE KALE CA PATRE CA, TAD DANAM SATTVIKAM SMRTAM
      Pemberian dana yang dilakukan kepada seseorang tanpa harapan kembali, dengan perasaan sebagai kewajiban untuk memberi kepada orang yang patut dalam waktu dan tempat yang patut itulah yang disebut sattvika (baik).
      JNANA YADNYA
      Jnana Yadnya adalah pengorbanan dalam bentuk kegiatan belajar dan pembelajaran. Bhagawadgita VII membedakan antara Vijnana dengan Jnana sebagai berikut: Vijnana adalah pengetahuan yang berdasarkan pemikiran dan kecerdasan, sedangkan Jnana adalah pengetahuan mengenai ke-Tuhan-an.
      Selanjutnya dijelaskan pula bahwa Jnana tidak mungkin diperoleh tanpa Vijnana, karena Vijnana adalah dasar yang kuat untuk meningkatkan pengetahuan rohani. Jnana Yadnya tidak hanya bermanfaat bagi orang lain, tetapi juga bagi diri sendiri, karena sangat membantu upaya manusia dalam pendakian kesadaran spiritual.
      Kegiatan belajar dan proses pembelajaran adalah contoh Jnana Yadnya yang disebut sebagai bentuk Yadnya yang lebih agung, dalam Bhagawadgita IV pasal 33:
      SREYAN DRAVYAMAYAD YAJNAJ, JNANAYAJNAH PARAMTAPA, SARVAM KARMA KHILAM PARTHA, JNANE PARISAMAPYATE
      Artinya: Persembahan korban berupa ilmu pengetahuan adalah lebih agung sifatnya dari korban benda yang berupa apa juapun, sebab segala pekerjaan dengan tiada kecuali memuncak dalam kebijaksanaan yang diperoleh melalui pengetahuan.
      TAPA YADNYA
      Tapa Yadnya adalah pengorbanan atau yadnya yang tertinggi nilainya karena berwujud sebagai pengendalian diri masing-masing individu. Tapa Yadnya juga disebut sebagai kegiatan pendakian spiritual seseorang dalam upaya meningkatkan kualitas beragama.
      Tahapan-tahapan peningkatan kualitas beragama, menurut Lontar Sewaka Dharma adalah:
      1. Ksipta, seperti perilaku ke-kanak-kanakan yang cepat menerima sesuatu yang dianggapnya baik tanpa pertimbangan yang matang.
      2. Mudha, seperti perilaku pemuda: pemberani, selalu merasa benar, kurang mempertimbangkan pendapat orang lain.
      3. Wiksipta, seperti perilaku orang dewasa, mengerti hakekat kehidupan, memahami subha dan asubha karma.
      4. Ekakrta, seperti perilaku orang tua, yaitu keyakinan yang kuat pada Hyang Widhi, mempunyai tujuan yang suci dan mulia.
      5. Nirudha adalah perilaku orang-orang suci, penuh pengertian, bijaksana, segala pemikiran perkataan dan perbuataannya terkendali oleh ajaran-ajaran Agama yang kuat, serta mengabdi pada kepentingan umat manusia.
      Tujuan menekuni Agama atau kerajinan melaksanakan ajaran Agama adalah mewujudkan Tapa Yadnya ini dalam kehidupan sehari-hari.
      Antara Jnana Yadnya dan Tapa Yadnya ada korelasi yang mutualistik, karena seperti yang diuraikan di atas, tidak mungkin melakukan Tapa Yadnya yang baik tanpa melaksanakan Jnana Yadnya terlebih dahulu.
      Bahkan jika dipikirkan lebih jauh, dasar dari seluruh Yadnya adalah Jnana Yadnya, karena dengan proses belajar dan pembelajaran, manusia mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang kewajibannya untuk ber-Yadnya.
      Sejak zaman Veda, proses belajar dan pembelajaran yang diadakan di setiap sampradaya telah memakai metoda yang demikian terkait sehingga untuk dapat mengajarkan Veda, seorang Guru terlebih dahulu haruslah meningkatkan kualitas dirinya melalui proses belajar yang intensif.
      Dalam garis ini tingkat pengetahuan spiritual tertinggi secara hati-hati diturunkan dari seorang Guru kepada muridnya. Guru mempunyai kemampuan yang sedemikian rupa untuk mempengaruhi muridnya tidak hanya dalam perkataan saja, tetapi lebih jauh adalah dalam memberi contoh pola pikir dan berbuat sehari-hari.
      Agama Hindu adalah “Sanatana Dharma”, yaitu suatu kebenaran yang abadi. Artinya Veda adalah panduan hidup manusia sepanjang zaman karena Hyang Widhi telah mewahyukannya untuk diikuti oleh seluruh umat manusia.
      Veda adalah sumber segala ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan seluruh topik yang diliput oleh pustaka suci Veda, ia menyediakan cara atau alat bagi suatu kehidupan yang penuh dan seimbang, secara material dan spiritual.
      Untuk menjadi yang utama, manusia hendaknya menempuh jalan hidup yang ilmiah. Jalan hidup ilmiah hanya dapat diperoleh melalui proses belajar dan pembelajaran. Siapapun dan dalam kondisi apapun dapat menjadi seorang Hindu dan mempraktekkan serta mendapatkan manfaat dari pengajaran Veda. Ini akan memberi keuntungan dalam berbagai cara.
      Salah satu aspek Sanatana Dharma adalah hakekat abadi dari jiwa yang meliputi semua mahluk sehingga dalam kemanusiaan terjadilah proses belajar dan pembelajaran yang sifatnya universal, tidak memilih waktu, tempat, budaya, agama-agama, ras, usia, suku bangsa, gender, dll.
      Veda mengajarkan kesadaran universal yang berpangkal dari kesadaran individu bahwa individu adalah bagian dari alam semesta sehingga mikrokosmos adalah mewakili makrokosmos. Pelajaran yang sempurna mengenai astronomi Veda mengungkapkan bahwa bentuk universal juga terdapat dalam diri individu.
      Oleh karena semesta adalah ciptaan Hyang Widhi, maka proses belajar dan pembelajaran juga merupakan kewajiban setiap individu, dengan tujuan agar tercapainya kesadaran universal itu. Di sini terbukti bahwa ajaran Veda mengembangkan pola pikir tentang kepedulian yang sungguh-sungguh terhadap semesta khususnya ke seluruh umat manusia.
      Dalam Vanashrama Veda tegas-tegas disebutkan bahwa jenjang kualitas manusia dinilai dari kemampuan intelektual dan spiritualnya, dan bukan dari hal-hal yang bersifat material lainnya.
      Setelah melalui proses belajar dan pembelajaran dalam filosofi Veda, manusia akan dapat membuat perubahan kualitas kehidupan yang nyata dapat dirasakan, dan juga meluasnya lingkaran pengaruh individu kepada lingkungannya. Dikaitkan dengan prinsip-prinsip Sanatana Dharma, maka kualitas kehidupan manusia dari zaman ke zaman akan semakin membaik seiring dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.