Senin, 13 Februari 2012

Hindu dan Generasi Mudanya

QUESTION:

Pertama saya ucapkan terima kasih, matur suksma pada Ida Pandita Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi yang telah menanggapi beberapa pertanyaan saya tentang Ngaben dan Penyederhanaan.
Sebagaimana Ida Pandita ungkapkan bahwa, “sangat bahaya generasi muda Hindu yang punya keyakinan mengambang”. Saya belum mengerti maksud Ida Pandita mengenai keyakinan mengambang itu – seperti apa pengertiannya?
Yang disebut keyakinan tidak mengambang itu seperti apa? Sebagai orang awam saya butuh contoh tentang keyakinan yang mengambang dan yang tidak mengambang, agar lebih paham dan saya bisa berbuat lebih baik.
Kalau Ida Pandita sedih melihat generasi muda Hindu saat ini punya keyakinan mengambang, ke mana generasi Hindu hendak belajar, agar dia tidak mengambang karena keyakinan generasi tua telah tenggelam? Ke mana kita menggalinya, masalahnya saat ini kita banyak menjumpai buku, antara satu dengan yang lain beda pengertian, kadang bertentangan.
Kini kita bisa membaca buku-buku yang tengah menjamur, yang ada di toko maupun ulasan tentang Hindu di internet. Kalau kita diskusi dengan teman tentang kisah para yogi, di mana kini banyak ditemui di internet atau di toko buku, maka umat kita yang punya keinginan belajar secara mendalam pun tidak mungkin, karena tak menemui guru.
Kalau kita ingin belajar Veda pun juga menemui jalan buntu, sebab yang akan mengajar Veda jumlahnya terbatas, sebaliknya juga yang mau menjadi guru merasa tidak siap, dengan alasan sang guru belum menghayati betul Veda.
Seorang guru Veda bukan saja menghafalkan sloka yang ada, tapi juga sudah merasakan pencerahan dari hasil pengalamannya. Konon dalam bukunya A.K Candarawati, bahwa seorang yang belajar Veda tanpa dibimbing oleh seorang guru Veda maka dikatakan pencuri, apa benar demikian?
Kalau benar demikian maka umat kita akan semakin banyak yang punya keyakinan mengambang? Kalau benar ungkapan A.K Candrawati demikian, maka sudah sepantasnya kita punya tempat, asram yang bisa menampung para wanaprasta dan sanyasin untuk menjalani rangkaian catur asrama sehingga pelaksanaan catur asrama menjadi tujuan umat.
Bila asram ini dirasakan ada manfaatnya, maka kita akan banyak mengubah perilaku, menuju proses penyadaran umat – dari ketagihan meceki, metajen, dan pemabuk menjadi pemabuk spiritual. Dari ekstasi narkoba menjadi ekstasi yoga.
Dalam tulisan ini saya menyadari betul kegiatan umat Hindu yang tidak seragam satu dengan yang lain, di mana pelaksanaan Hindu itu bagaikan bola salju yang bergerak, lalu mengambil bentuk di mana ia menggelinding. Konsep inilah yang disebut desa kala patra.
Sebagai orang Hindu yang ada di luar Bali, saya sering menerima pertanyaan yang bernada miring sepertinya upacara Hindu di Bali tidak punya dasar, dan lain-lainnya, sehingga saya perlu membukanya dalam media ini agar kita mau sama-sama melek untuk tahu lebih banyak tentang Hindu.
Seperti pertanyaan saya tentang ngaben dan penyederhanaannya hanyalah pertanyaan pembuka, agar masyarakat lebih mau membuka diri terhadap kondisi sosial keagamaan yang kian hari mendapat tantangan makin berat. Karena semangat keikhlasan akan berubah peran ketika kondisi ekonomi rumah tangga menjadi tidak lancar.
Terakhir, ada satu pertanyaan lagi buat saya, mengapa sebuah gambar dewata kalau kita puja, kita hayati dengan baik bisa menimbulkan keajaiban. Seperti halnya gambar Siwa yang mengeluarkan cairan, bagaikan madu atau cairan tirta gangga yang keluar dari gelungan beliau.
Jika gambar itu mengeluarkan keajaiban demikian apa yang harus kita lakukan supaya kita jangan keliru berbuat. Terima kasih atas perhatiannya, mohon maaf jika ada yang salah.
ANSWER:
Pandita akan mencoba mulai menjelaskan dari Sejarah dan Perkembangan Agama Hindu secara singkat sebagai berikut: Weda diperkirakan diwahyukan oleh Hyang Widhi sejak 2500 tahun sampai 1500 tahun Sebelum Masehi.
Weda tidak diwahyukan sekaligus, tetapi bertahap melalui jarak waktu sekitar 1000 tahun dan diterima oleh tujuh Maha Rsi (Sapta Rsi), yaitu: Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa.
Para Maha Rsi itu menurunkan wahyu dalam bentuk ajaran-ajaran kepada para pengikutnya. Salah seorang pengikut bernama Bhagawan Abyasa mengumpulkan dan menyusun wahyu-wahyu itu dan menjadilah empat kelompok Weda (Catur Weda), yaitu: Reg Weda, Yayur Weda, Sama Weda, dan Atharwa Weda.
Para pengikut ketujuh Maha Rsi itu masing-masing mengembangkan ajarannya kepada penduduk sehingga lama kelamaan terbentuklah sekte-sekte dalam penganut Hindu di India yang jumlahnya sampai ratusan. Sekte-sekte yang terbesar pengikutnya antara lain: Siwa Sidanta, Pasupata, Linggayat, Bhagawata, Waisnawa, Indra, Saura, dll.
Wahyu yang diterima sulit untuk diresapkan oleh orang awam maka dibuatkan tafsir-tafsirnya dalam bentuk: Brahmana, Upanisad, Wyakarana, Nirukta, Jyotisa, Kalpana, Itihasa, Ayur Weda, Gandarwa Weda, Danur Weda, dan Kama sutra.
Sekte Siwa Sidanta muncul di India Tengah, kemudian berkembang ke India Selatan di bawah pimpinan Maha Rsi Agastya.
Salah seorang murid Maha Rsi Agastya mengembangkannya ke Indonesia pada abad ke-8 Masehi. Ajaran Hindu sekte Siwa Sidanta ini menekankan pada pemujaan Lingga dengan manifestasi Hyang Widhi dalam wujud Tri Murti: Brahma, Wisnu, Siwa, dan Tri Purusa: Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa.
Perkataan Siwa Sidanta artinya “kesimpulan-kesimpulan ajaran Siwa”. Weda yang didalami disebut Weda Sirah, yaitu Weda yang memuat bagian-bagian penting saja; sirah artinya pokok-pokok.
Ajaran Siwa Sidanta dibawa dari Jawa ke Bali oleh para Maha Rsi generasi abad ke 10 M, yaitu Mpu Kuturan dan Maha Rsi generasi abad ke 14 M, yaitu Danghyang Nirarta.
Mpu Kuturan menyebarkan paham Tri Murti, menulis lontar-lontar antara lain: Kusumadewa, Ngaben, Dharma Kauripan, membangun Tri Kahyangan dan Sad Kahyangan. Danghyang Nirarta mengembangkan paham Tri Purusa, bangunan Padmasana, dan Panca Yadnya.
Beberapa lontar yang kini sudah banyak dibukukan yang perlu diketahui oleh penganut sekte Siwa Sidanta antara lain: Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa, Bhuwanakosa, Bhagawadgita, Sarasamuscaya, Wedaparikrama, Manawa Dharmasastra, Parasara Dharmasastra, dan Eka Pratama.
Selain itu uraian-uraian paham yang dianut oleh Mpu Kuturan dan Danghyang Nirarta seperti yang disebutkan di atas perlu juga didalami.
Di toko-toko buku kini banyak tersedia buku-buku Agama Hindu yang tidak jelas menyebutkan apakah penulisnya mengikuti paham sekte Siwa Sidanta atau sekte yang lain.
Itulah sebabnya ada kemungkinan uraian dalam buku yng satu berbeda bahkan bertentangan dengan uraian dalam buku yang lain seperti yang anda jumpai. Itu pula sebabnya mereka yang belajar Agama Hindu perlu bimbingan seorang Nabe/ Guru agar dapat dipilihkan buku-buku mana yang cocok.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya Catur Marga dalam sujud bakti kita kepada Hyang Widhi. Catur marga itu adalah: Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, dan Yoga Marga.
Keempat marga itu sebaiknya dilakukan secara bertahap dimulai dari Bhakti Marga, seperti anak-anak ketika masih kecil hanya mengikuti saja tata cara sembahyang dan mesaiban yang dilakukan ayah/ ibunya tanpa lebih jauh mengetahui Tattwa sembahyang dan mesaiban itu.
Karma Marga juga banyak ditempuh oleh mereka yang hanya menekuni kerja dalam bimbingan Hyang Widhi di kehidupannya. Makin meningkat usia dan meningkat pendidikannya keinginan tahu makin merebak, sehingga bhakti dan karma marga dirasa masih belum memuaskan, lalu menempuh Jnana Marga, yaitu belajar tentang tattwa, srada, upacara, dll.
Bilamana telah banyak mengetahui dan merasa sudah “dekat” pada-Nya, dapat melakukan Yoga Marga, walaupun pada tingkat ini marga-marga yang lain tetap dilaksanakan.
Perasaan “dekat” dengan-Nya akan tumbuh sendiri berdasarkan pengalaman-pengalaman spiritual. Bila keadaan demikian dilaksanakan dengan terarah pada keyakinan mantap pada paham Siwa Sidanta tidak akan terjadi keyakinan yang mengambang.
Selanjutnya, kehidupan beragama sangat dipengaruhi oleh budaya. Budaya dalam konteks ini dipahami sebagai kesepakatan nilai-nilai diantara manusia sebagai mahluk sosial.
Budaya Bali berbeda dengan budaya Jawa, demikian seterusnya. Pelaksanaan ritual Agama Hindu dari sekte Siwa Sidanta di Bali akan berbeda dengan ritual Agama Hindu dari sekte yang sama di Jawa, walaupun Tattwa dan Susila-nya sama.
Keragaman ritual lebih diramaikan lagi dengan adanya penafsiran-penafsiran yang berbeda, acuan lontar-lontar yang berbeda, desa-kala-patra, dresta (kuna dresta, loka dresta, dan desa dresta) dan lain-lain. Disinilah peranan PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) sebagai Lembaga Tertinggi Umat Hindu mengeluarkan bisama-bisama untuk menengahi perbedaan-perbedaan ini.
Di Bali, khususnya di Kabupaten Buleleng, kini sudah tumbuh Ashram-ashram yang membuka pintu bagi umat yang membutuhkan bimbingan Agama. Yang digunakan sebagai ashram adalah Geria-geria para Pandita. Bagi mereka yang berada di luar Bali, dapat meminta bimbingan antara lain melalui internet.
Mengenai sebuah gambar Dewa yang mengeluarkan cairan ketika dipuja, Pandita belum pernah mengalami. Bila benar demikian itu suatu keajaiban atau suatu mukzizat. Mungkin air itu bisa dipendak, dilinggihkan sebagai suatu berkat dan digunakan sebagai tirta wangsuh pada. Ini hanya saran, namun pelaksanaannya tentu berdasar keyakinan anda pribadi.
Demikianlah penjelasan Pandita, semoga memuaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar