Senin, 16 Januari 2012

Bhagavadgita XVII Tiga Jenis Kepercayaan

XVII TIGA JENIS KEPERCAYAAN
Berkatalah Arjuna:
1. Mereka yang tidak kenal akan kaidah-kaidah suci ini, tetapi mempersembahkan pengorbanan dengan kepercayaan (iman) –bagaimanakah keadaan mereka ini, oh Kreshna? Apakah (mereka) ini tergolong sattva, raja atau tama?
Timbul pertanyaan yang wajar di dalam hati sang Arjuna, apakah perlu kita semua belajar tentang hukum atau kaidah-kaidah yang dikandung oleh skripsi kuno dan buku-buku suci lainnya? Apakah Bhagavat Gita sendiri tidak cukup atau memadai? Dan bagaimana dengan nasib mereka yang beriman tetapi tidak pernah membaca atau mengetahui tentang naskah atau skripsi-skripsi kuno ini? Sebenarnya hukum ini – karena sifatnya yang abadi, spiritual dan alami – secara otomatis akan bekerja sendiri. Tidak penting apakah setiap orang yang beriman itu pernah mendengar atau tidak akan hukum/kaidah ini. Sesuai dengan karuniaNya maka seseorang yang beriman akan belajar sendiri atau dengan kata lain mendapatkan sendiri semua kaidah-kaidah suci ini secara bertahap, dan ia akan memahami itu semua dengan baik. Yang penting, kita ini (setiap individu) harus jujur pada diri sendiri, dan walaupun tak pernah mendengar tentang sastra-sastra ini, seorang yang telah terpanggil ke jalanNya akan secara otomatis mempelajari dan mempraktekkan secara langsung semua kaidah dan hukum-hukum suci ini, sesuai dengan hati nuraninya, karena memang hukum ini sifatnya amat universal dan alami.
Arjuna yang khawatir akan nasib seseorang yang beriman tetapi tidak kenal kaidah-kaidah suci ini, sebenarnya tidak perlu khawatir, karena yang penting adalah penghayatan dan pengamalan kaidah-kaidah itu sendiri secara tulus, dan bukan dengan membaca atau mengetahuinya. Kaidah-kaidah itu sendiri secara tulus, dan bukan semua itu datang dari Satu Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Pengasih dan Penyayang. Walau nampaknya kaidah-kaidah ini berlainan dalam berbagai ajaran agama, ajaran moral, kebatinan dan hukum tetapi intisarinya selalu Manunggal, yaitu Satu, dan semua itu selalu berporos dan kembali kepadaNya juga. Om Tat Sat.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
2. Kepercayaan manusia (makhluk yang dapat binasa), yang lahir dari sifat-sifat mereka terbagi dalam tiga bagian — sattvik, rajasik dan tamasik. Dengarkanlah oleh mu semua ini.
3. Iman seseorang, oh Arjuna, adalah berdasarkan sifat seseorang itu. Manusia dibentuk oleh imannya: begitu imannya, begitu juga manusianya.
Shradda, atau iman atau kepercayaan, adalah ekspressi dari setiap sifat sejati atau asli dari individu itu sendiri yang sudah diatur oleh karma-karmanya. Begitu sifatnya, begitu juga prilaku orang itu. Kepercayaannya akan Yang Maha Esa, otomatis terpancarkan sesuai dengan sifat-sifat asli setiap individu yang tentunya berbeda-beda dari setiap manusia ke manusia yang lainnya, dan faktor ini juga akan membeda-bedakan prilaku manusia tersebut. Dan ada tiga golongan kepercayaan pada setiap makhluk yang hidup, terutama yang disebut manusia (makhluk yang juga dapat binasa), yaitu sattvik (dari sattva), rajasik (dari raja) dan tamasik (dari tama), yang hadir secara berbeda-beda dan dominan dalam bentuk dan kekuasaannya masing-masing.
4. Manusia-manusia yang bersih memuja para dewa, manusia-manusia yang bernafsu memuja para yaksha dan para rakshasa, dan yang lainnya, yaitu manusia-manusia yang berada dalam kegelapan — memuja hantu-hantu dan roh-roh yang bergentayangan.
Shradda (iman) yang bersifat sattvik ini menunjukkan kemurnian atau kesucian orang-orang dengan sifat ini, yaitu memuja Tuhan Yang Maha Esa atau para dewa-dewa yang dianggapnya Tuhan atau pengganti Tuhan. Dan sewaktu ajal mereka tiba, mereka ini pergi ke tujuan pemujaan mereka sesuai dengan imannya masing-masing. Mereka ini dapat saja mencapai penerangan atau nirvana pada akhir hayat mereka. Sifat-sifat rajasik adalah sifat-sifat yang penuh dengan energi. Iman rajasik adalah iman yang penuh energi, nafsu dan keinginan-keinginan bagi mereka yang menginginkan kekuasaan, harta-benda, sukses dan lain sebagainya. Mereka-mereka yang punya kepercayaan rajasik ini memuja para yaksha (dewa-dewa pemberi harta dan kesejahteraan duniawi) dan para rakshasa (setan dan iblis). Sedangkan sifat-sifat tamasik adalah sifat-sifat kegelapan total yang dimiliki oleh mereka-mereka yang kurang sekali pengetahuannya akan kebesaran Yang Maha Esa, mereka amat serakah dan tidak suci, amat sensual, malas dan penuh akan sifat-sifat gelap lainnya. Demi hasrat dan jalan pintas ke sukses dan pencapaian kesejahteraan duniawi ini mereka memuja roh-roh yang sesat, hantu, jin dan kuasa-kuasa gelap yang cepat mendatangkan kenikmatan bagi mereka.
5. Manusia-manusia yang menjalankan disiplin-disiplin spiritual secara negatif, yang tidak dianjurkan oleh skripsi-skripsi suci, yang telah terbiasa dengan kemunafikan dan rasa egoisme dan telah terseret oleh kekuatan nafsu dan keinginan (duniawi).
6. Manusia-manusia semacam ini tak memiliki akal-budi. Mereka merusak elemen-elemen raga mereka dan Aku yang bersemayam di dalam raga ini. Ketahuilah bahwa orang-orang ini berpikiran iblis.
Cara pemujaan juga merefleksikan iman atau shraddha ini. Dan seandainya seseorang memuja sesuatu unsur alami atau yang lainnya dengan menyiksa tubuh mereka atau merusak tubuh ini dengan sesuatu ritus-ritus tertentu, maka tapa, pemujaan atau usaha spiritual ini tidaklah suci sifatnya, tidak sinkron dengan kaidah-kaidah suci yang tertera di kitab-kitab suci Hindu kita ini; mereka yang merusak raga mereka demi kepuasan duniawi ini sebenarnya merusak “kuil yang suci,” kuil Sang Kreshna yang dilahirkan sebenarnya dengan tujuan yang suci, yaitu menyembah dan mengenal Yang Maha Esa dan bukan menjadi budak dari nafsu mereka. Raga ini pantang untuk dirusak karena sebenarnya bukan milik kita dan seharusnya dipergunakan untuk maksud-maksud yang positif, dan seandainya orang-orang ini masih saja merasa lebih benar dari yang dianjurkan oleh skripsi-skripsi ini, maka manusia semacam ini adalah manusia yang egoistik dan hanya mementingkan diri mereka sendiri dan menghalalkan segala cara demi tercapainya maksud-maksud duniawi mereka.
7. Pangan yang diperlukan oleh semua makhluk terdiri dari tiga jenis. Begitupun bentuk pengorbanan, tapa dan dana. Dengarlah perincian-perinciannya.
8. Makanan yang memperpanjang hidup dan menunjang kesucian, tenaga, kesehatan, kebahagiaan, dan kegembiraan, yang manis, lembut, penuh dengan gizi dan sesuai, disukai oleh orang-orang yang bersifat sattvik.
9. Makanan yang pahit, asam, bergaram, terlalu pedas, berbau, kering dan membakar, yang menimbulkan penderitaan, kesusahan dan penyakit disukai oleh mereka-mereka yang bersifat rajasik.
10. Makan yang tak segar, tak berasa, basi, cacat, tidak bersih adalah jenis makanan yang disukai oleh orang-orang yang bersifat tamasik.
Makanan yang dimakan seseorang pun merefleksikan karakter seseorang itu sendiri, yang didasarkan pada iman orang itu sendiri sesungguhnya. Seperti juga iman atau kepercayaan yang terbagi tiga, maka jenis makanan pun dibagi tiga:
a. Makanan sattvik, makanan jenis ini menambah kewibawaan, intelegensia, intelektualitas, kekuatan, kesegaran, kesehatan, kenikmatan lahir dan batin, kegembiraan, dan kebahagiaan hidup. Makanan jenis ini adalah yang mudah dimakan, beraroma, manis, mengandung cairan seperti sari-buah dan buah-buahan; menyehatkan dan sesuai dengan mereka-mereka yang bertemparamen sattvik. Contoh: gandum, beras, kacang-kacangan, mentega, susu, produk dari ternak (bukan daging ternak), buah-buahan dan sayur-sayuran segar dan matang.
b. Makanan rajasik adalah jenis makanan untuk mereka-mereka yang penuh dengan nafsu dan keinginan-keinginan duniawi, yaitu jenis-jenis makanan yang rasanya pahit, asam, bergaram, terlalu pedas, berbau, keras dan menyengat seperti opium, tembakau, tamarin, cabai, gandum yang dibentuk alkohol dan lain sebagainya. Makanan sejenis ini menimbulkan sakit, penderitaan dan kesusahan.
c. Makanan tamasik adalah jenis makanan yang disukai oleh mereka-mereka yang hidup dalam kegelapan dan berpikiran gelap dan iblis. Mereka ini menggemari makanan yang tidak dimasak dengan baik, yang kotor, yang tidak ada rasanya, cacat, basi, tidak dapat digolongkan suci atau bersih. Contoh: daging, ikan, bawang, telur, daging-mentah, buah-buahan dan sayur-sayuran yang diasamkan, alkohol dan sisa-sisa makanan orang lain. Juga makanan hasil korupsi dan kejahatan termasuk golongan ini.
Makanan yang disantap kita seharusnya adalah makanan yang menyehatkan dan membersihkan diri kita. Hasil kerja kita yang halal adalah sattvik, dan seandainya kita memakan sesuatu dari uang hasil korupsi atau pekerjaan haram lainnya, dan seandainya kita menerima sesuatu pemberian atau makanan dari seseorang yang jelas-jelas kita ketahui uangnya berasal dari uang yang tidak jujur atau tidak halal, maka yang dimakan itu tidak sattvik. Sebuah pepatah Jerman mengatakan, “Seorang manusia adalah apa yang ia makan!” Dan ini memang benar adanya, karena berdasarkan makanan yang kita konsumsikan kemudian timbul berbagai jenis pikiran di dalam benak. Pikiran, jiwa dan hati kita, dan semua pikiran ini, kemudian menghasilkan berbagai aktivitas yang berhubungan dengan kehidupan kita. Jadi berhati-hatilah akan apa yang kita makan atau konsumsikan.
Makanlah sesuatu dari orang-orang yang sifat dan rasa magnetismenya suci dan bersih. Seseorang yang pantas dimakan makanannya adalah ibu kita sendiri, istri yang berbakti, putri, saudara perempuan dan guru kita sendiri. Dan secara mental selalu mempersembahkan makanan ini sebagai ahuti (persembahan) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan cara ini makanan yang dimakan ini akan memberikan kekuatan untuk pekerjaan kita dan juga untuk amal kita bagi semuanya. Dan sewaktu bersantap harap diperhatikan bahwa suasana di sekitar tempat makan ini tenang dan tidak berisik. Makanlah dengan diam-diam tanpa banyak berbicara, jauhkanlah pikiran dan pembicaraan yang tidak perlu. Ini penting sekali baik untuk segi kejiwaan maupun kesehatan badani. Cobalah!
11. Persembahan (atau pengorbanan) yang bersifat sattvik, seandainya dipersembahkan sesuai dengan kaidah-kaidah suci, oleh orang-orang yang tidak menginginkan suatu imbalan, dan yang percaya dengan teguh bahwa persembahan (atau pengorbanan) ini adalah wajib sifatnya.
12. Persembahan (atau pengorbanan) yang dipersembahkan dengan maksud untuk mendapatkan suatu imbalan tertentu atau demi suatu pertunjukkan belaka adalah persembahan (atau pengorbanan) yang bersifat rajasik (penuh nafsu), oh Arjuna.
13. Persembahan (atau pengorbanan) yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah suci, di mana tak ada makanan yang dibagikan, tak ada mantra-mantra yang diucapkan, dan tak ada dana atau hadiah yang diberikan, yang kosong akan iman, adalah bersifat tamasik (gelap).
Pengorbanan atau persembahan pun berhubungan dengan karakter asli dari para pemuja, dan terdapat tiga kualifikasi dari persembahan atau pengorbanan ini:
a. Persembahan yang bersifat sattvik dilakukan oleh seseorang karena merasakan adanya kewajiban berdasarkan kewajibannya terhadap Yang Maha Esa dan kaidah-kaidah suci. Persembahan atau pengorbanan ini dilakukan tanpa pamrih, tanpa mengharapkan suatu keuntungan tertentu.
b. Persembahan secara rajasik adalah persembahan atau pengorbanan yang tidak tulus karena dilakukan dengan mengharapkan pamrih atau untuk suatu tujuan tertentu. Persembahan atau pengorbanan ini dilakukan demi mendapatkan kemasyhuran dan ada juga yang demi memamerkan kekayaan dan kekuasaan seseorang.
c. Persembahan secara tamasik adalah persembahan tanpa iman, yang dilandasi akan maksud-maksud gelap. Persembahan atau pengorbanan ini bertolak belakang dengan ajaran-ajaran suci.
14. Pemujaan kepada para dewa, kepada yang lahir dua kali, kepada para guru, dan kaum bijaksana; kemurnian, kejujuran (yang tidak ditutup-tutupi), disiplin spiritual bagi diri, dan tidak menyakiti siapapun – inilah yang disebut sebagai tapa-tapa bagi raga ini.
15. Kata-kata (wicara) yang tidak menyakiti seseorang, yang jujur, menyenangkan dan menguntungkan, dan mempelajari buku-buku suci secara konstan – inilah yang disebut sebagai tapa-tapa wicara ini.

16. Ketenangan pikiran, kelembutan, diam-diri, kendali-diri, berpikir (dan juga merasa) secara baik dan murni – inilah yang disebut tapa-tapa pikiran ini.
Tapa atau disiplin spiritual bagi seseorang pun dibagi tiga. Tapa yang benar adalah disiplin diri yang dilakukan pada raga, kata-kata (mulut dan pembicaraan) dan pikiran kita masing-masing sebagai berikut:
a. Tapa atau disiplin pada raga itu adalah dengan menyembah dan memuja kepada Yang Maha Esa secara teratur dan konstan; menyembah dan bekerja untuk para guru dan orang-orang yang bijaksana yang menjadi tempat kita belajar, kepada para pendeta dan Brahmin yang kita hormati dan pada individu-individu yang agung dan suci ajaran-ajarannya. Dalam tapa untuk raga ini tercakup juga disiplin yang kuat dalam membersihkan tubuh kita dari berbagai kekotoran duniawi dan juga benda-benda lainnya yang dapat membuat kita sakit. Juga kendali pada semu; indra-indra sensual kita adalah salah satu dari tapa-raga ini. Menjaga kesehatan raga kita dari berbagai kemungkinan terkena penyakit kotor dan penyakit-penyakit lainnya, berolah-raga secara teratur, berekreasi ke alam bebas, bermeditasi adalah tapa atau disiplin bagi raga kita, yang amat vital dan penting efeknya pada kehidupan spiritual kita.
Juga termasuk dalam tapa-raga ini, ialah kualitas-kualitas atau sifat-sifat seperti keterus-terangan atau kejujuran, tidak menyakiti sesama makhluk dan usaha-usaha bramacharya, yaitu mendisiplinkan diri dan raga kita agar jauh dari nafsu-nafsu badani. Jauhkanlah kemanjaan dalam hidup ini, hiduplah secara sederhana saja dai lebih alami. Jangan berpikir semasih ada pergunakan saja kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan Tuhan kepada kita, kemudian dengan landasan pemikiran semacam ini, kita berfoya-foya atau hidup yang mewah dan penuh dengan kenikmatan duniawi. Tetapi berpikirlah selama diberi kesempatan dan fasilitas ini kita malahan menggunakan secara minim dan yang perlu saja, dan ingat Yang Maha Esa tidak pernah menciptakan uang, rumah, AC, mobil dan benda-benda mewah lainnya, yang menciptakan semua ini adalah manusia. Yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa adalah alam, jadi kembalilah ke alam yang tak ada habis-habisnya ini, di alam yang murni ini terletak kebahagiaan dan obat kita untuk mengatasi semua problem kita. Semua yang nampaknya mewah dan praktis ini sebaliknya malahan membuat raga kita sakit karena kurang gerak dan jadilah kita budak dari semua milik kita yang mewah-mewah ini dan timbullah efek dari semua ini yang biasanya membuat kehidupan kita makin tergantung kepadanya, dan bukan sebaliknya. Padahal tubuh dan pikiran kita diciptakan sedemikian rupa agar makin banyak gerak dan semakin alami hidup kita maka semakin sehatlah raga dan pikiran kita akhirnya. Jauhilah dan kurangilah pembantu rumah-tangga yang berlebihan jumlahnya, sebisa mungkin kita bekerja sendiri semua urusan rumah-tangga kita dan bergeraklah semaksimum mungkin sambil bekerja. Inilah salah satu tapa-raga kita yang sehat dan sattvik sifatnya.
b. tapa-wicara atau disiplin pada kata-kata atau pembicaraan kita adalah disiplin diri kita dalam bertutur-kata. Jauhilah bualan-bualan kosong maupun kata-kata yang penuh dengan nada kebanggaan, sombong dan egois. Selalu berkata sejujur mungkin, tulus dan mengutarakan kata-kata yang baik, lembut dan bermakna, yang menyejukkan hati yang mendengarkannya. Sebuah pepatah Jepang mengatakan, “Satu kata yang lembut, menyejukkan tiga bulan musim panas.” Kata-kata yang jauh dari nafsu dan kekotoran adalah kata-kata yang harus selalu melekat pada bibir dan pikiran kita. Gunakanlah selalu kata-kata yang dapat menolong seseorang yang memerlukannya, (nasehat-nasehat) dan Jauhilah argumen-argumen yang menunjukkan rasa egoisme yang pribadi, seperti “ini punyaku, ini aku yang melakukannya, dan lain sebagainya.” Jauhilah kata-kata kasar dan didorong rasa amarah. Dekatilah Ia selalu setiap saat, setiap waktu baik sedang bekerja maupun tidak, dan selalu mengucapkan doa-doa, mantra-mantra suci dan “berdialoglah denganNya baik secara verbal maupun secara mental. Inilah tapa-wicara yang penting dilakukan kita semua, demi tercapainya disiplin spiritual kita yang lebih tinggi, yaitu disiplin kepada dan bagiNya.
c. Tapa-jiwa (atau pikiran) adalah:
(1) Selalu membuat pikiran kita gembira dan balans (stabil) dengan menenangkan diri dan mencari ketenangan baik di tengah-tengah kesibukan maupun ketika sedang seorang diri.
(2) Kelembutan atau ramah-tamah, tetapi ini tidak berarti kelemahan atau rasa pengecut, tetapi bersikap ramah, baik dan terus-terang, tenang dan welas-asih terhadap semua makhluk, manusia dan benda-benda.
(3) Diam-diri atau tenang-diri tidak berarti kita harus bermeditasi sepanjang hari, atau diam seperti patung, atau bagaikan orang-mati dan tidak bergerak sama-sekali, atau juga lari dari pekerjaan dan kewajiban kita sehari-hari, melainkan berarti mengusahakan setiap harinya untuk sejenak meluangkan waktu kira-kira 10 menit atau satu jam, dan duduk bermeditasi atau “berdialog” dengan Yang Maha Esa secara tenang dan tidak terganggu. Ini baik untuk menjauhkan stress dan berbagai problem, tetapi lebih baik secara spiritual karena akan makin mendekatkan kita kepadaNya secara lambat laun tapi pasti. Hal ini dapat dilakukan di kantor, rumah, di toko, atau sambil berolah-raga jalan kaki misalnya, sambil berdiri di suatu tempat secara tenang dan lain sebagainya. Yang Maha Esa dapat dihubungi dengan cara apa saja dan di mana saja karena Ia Maha Hadir di alam semesta ini. Yang penting luangkan waktu sejenak pada waktu-waktu tertentu atau secara bebas, dan berusaha tenang dan menyatu denganNya.
(4) Kendali pada pikiran dan
(5) membersihkan perasaan kita. Kedua hal terakhir ini berarti janganlah berpikir yang tidak-tidak atau berspekulasi atau mencurigai sesuatu atau seseorang. Tetapi fokuskanlah diri padaNya selalu dan banyak berpikirlah mengenai hal-hal yang positif dan suci, dan yang tidak merusak jiwa dan mental kita. Seperti raga yang harus dibersihkan setiap hari dengan air bersih, maka jiwa dan pikiran kita pun harus dimandikan dan dibersihkan dengan selalu berpikir tentang Yang Maha Esa dan hal-hal yang positif, bersih, murni dan baik untuk semua yang di sekitar kita dan di seluruh alam semesta ini, dengan doa-doa dan mantra-mantra suci bagi semuanya (di alam semesta ini).
17. Ketiga tapa (di atas) ini disebut sattvik, seandainya dilaksanakan dengan iman yang tinggi oleh mereka-mereka yang stabil pikirannya dan tanpa mengharapkan pamrih.
18. Tapa-tapa yang dilakukan demi peragaan atau pertunjukan yang penuh dengan rasa kesombongan agar mendapatkan rasa hormat, kemasyhuran dan agar dipuja orang, disebut sebagai tapa-rajasik, tapa ini tidak stabil dan hanya sementara sifatnya.
19. Tapa-tapa yang mengakibatkan penyiksaan pada diri-sendiri atau pada orang (dan makhluk lainnya), yang dilaksanakan oleh mereka yang pikirannya telah tersesat disebut sebagai tapa tamasik.
Tapa atau disiplin diri secara sattvik adalah kendali-raga, wicara dan pikiran dengan penuh iman dan tanpa keserakahan. Sedangkan tapa yang bersifat rajasik mengarah pada rasa-hormat dan kemasyhuran dan bermotifkan sesuatu, jadi tidak tulus dan selalu mengharapkan imbalan. Tapa tamasik bahkan merusak diri atau orang dan makhluk lain. Disiplin yang amat keras dan fanatik, yang merusak diri sendiri tidak dianjurkan karena sebenarnya secara spiritual malahan tidak spiritual sama sekali dan tidak mengarah kepada pembebasan (mukti) dan Yang Maha Esa. Memang disiplin semacam ini dapat menghasilkan kekuatan-kekuatan gaib tertentu baik secara ragawi maupun secara batin, tetapi semua kekuatan-kekuatan ini sebenarnya adalah hambatan-hambatan yang besar ke arah jalan spiritual yang sejati dan penerangan Ilahi tidak akan turun karenanya. Sebaliknya yang timbul akibat kesaktian-kesaktian ini adalah rasa sombong dan ego yang baru sifatnya. Jadi supaya tidak sia-sia jalan spiritual kita, dianjurkan untuk secara sederhana saja memuja Yang Maha Esa; dan kekuatan gaib yang datang sendiri karena karuniaNya saja yang boleh dipergunakan untuk tujuan-tujuan manusiawi dan demi Yang Maha Esa tanpa pamrih.
Puasa yang berkepanjangan dan menyiksa diri, kemudian praktek-praktek atau ritus-ritus yang merusak tubuh, yang menyiksa tubuh, tidak pernah dianjurkan oleh guru-guru maupun ajaran-ajaran suci di dunia ini. Lebih baik melakukan suatu disiplin diri yang tidak terlalu keras dan bersifat kejam, tetapi tidak juga yang santai-santai sifatnya. Yang dianjurkan dengan disiplin ini adalah pengendalian dan nafsu-nafsu kita yang kalau tidak diajarkan yang baik akan selalu bergentayangan ke arah obyek-obyek sensual. Semua disiplin ini juga sebenarnya mengajarkan kita untuk membersihkan dan menguatkan diri dan jiwa kita, guna menghadapi semua cobaan hidup sehari-hari, semua suka dan duka, semua kesenangan dan kesusahan, kenikmatan dan penderitaan secara stabil. Bukankah hidup kita sehari-hari tidak lain dan tidak bukan ibarat ujian-ujian yang berat saja. Semua itu bisa dihadapi secara stabil dan teguh, jika kita terbiasa akan disiplin diri ini. Setiap tindakan disiplin diri yang sejati seharusnya menghasilkan suatu tekad yang kuat dalam berbagai tindakan dan pemikiran kita, menghasilkan suatu rasa kasih-sayang yang positif terhadap semua makhluk dan sesama kita yang menderita, menjauhkan kita dari rasa ego, rasa marah, dan keinginan-keinginan pribadi kita yang selalu tak pernah kunjung habis.
Suatu tapa yang baik dan sejati akan menghasilkan seseorang yang tegar imannya, yang aktif bekerja, berdoa, memuja Yang Maha Esa tanpa pamrih, yang aktif menolong siapa saja tanpa pamrih, yang aktif berekreasi dan berolah-raga secara sehat, yang berkewajiban penuh kepada semua kewajiban-kewajibannya di lingkungannya, di negaranya dan tempat-tempat yang berhubungan dengan orang itu sendiri, terutama kewajibannya kepada Yang Maha Esa. tapa yang sejati menghasilkan sesuatu yang amat besar nilainya secara spiritual dan kejiwaan bagi seseorang yang melakukannya secara sejati. Sukar dilukiskan ketenangan orang semacam ini, sukar dikatakan akan kekuatan jiwanya, karena ketegaran dan kepasrahannya pada Yang Maha Esa akan menghapus semua rasa takutnya pada apapun juga di dunia ini selain Yang Maha Esa.
Kalau ada yang ingin anda salibkan atau kuburkan sebelum kita ini binasa, maka saliblah atau kuburkanlah pikiran dan jiwa anda yang penuh polusi, agar jauh dari kekotoran-kekotoran duniawi. Dengan jiwa dan pikiran yang terkendali, bersih dan murni akan dihasilkan raga perbuatan yang bersih, suci, murni dan bebas dari polusi duniawi. Jauhilah unsur-unsur kenikmatan yang berlebihan dan juga unsur-unsur yang memancing kenikmatan-kenikmatan ini, kendalikan diri, pergunakan semua fasilitas yang diberikan olehNya secukupnya saja sesuai kebutuhan kita, dan jangan sekali-kali menghamburkan tenaga, pikiran dan fasilitas anda pada semua yang berbau duniawi ini. Kibarkanlah panji-panji kebajikan mulai dari diri kita sendiri, dan bertapa atau berdisiplin dirilah secara sejati dan murni, inilah penyaliban atau penguburan diri kita yang sejati.
Kita pun harus belajar untuk menjadi miskin dalam hidup ini, bukan berarti lalu setiap orang mengubah dirinya menjadi peminta-minta, tetapi baik penampilan dan kehidupan sehari-hari diubah sederhana. Pola hidup sederhana jangan hanya dijadikan semboyan pemanis bibir saja, tetapi harus dilaksanakan secara lahir dan batin, dimulai sebaiknya semenjak dini. Dan ini adalah tanggung-jawab orang-orang tua sebenarnya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Seandainya anda seorang yang hartawan, mulailah berdisiplin diri dengan tinggal di sebuah rumah yang sederhana saja tetapi baik dan sehat lingkungannya, berpakaian dan makan secara sederhana saja tetapi sehat dan penuh gizi, dan bersifat makanan sattvik, karena yang penting adalah berpikir dan bertindak sattvik. Seharusnya kita menyadari bahwa manusia ini sebenarnya amat miskin, karena sewaktu lahir kita dikirim ke dunia ini dalam keadaan telanjang-bulat dan sewaktu mati nanti apa yang akan kita bawa serta? Semua ini hanya pinjaman dan ilusi saja, sebenarnya hanya penunjang saja untuk kehidupan kita, lalu untuk apa serba mewah dan gemerlapan, kalau yang terpakai hanya sekedar saja dan sisanya dalam jumlah yang besar hanya sebagai dekor dan penghias belaka? Sewaktu berlebihan inilah kita belajar hidup sederhana, agar di kemudian hari sewaktu mengembalikan semua ini kita sudah siap sedia sama seperti kita datang ke dunia ini.
Intisari dari semua tapa dan disiplin diri spiritual ini ialah: Disiplin dan kendalikan diri anda sebegitu rupa agar anda jauh dari rasa memiliki, rasa ego, dan rasa pamrih. Hanya Yang Maha Esa saja yang seharusnya tampil sebagai tujuan kita bekerja, dan hanya Ia saja terpikir senantiasa dalam jiwa sanubari kita, kosongkanlah, sekosong-kosongnya jiwa dan pikiran kita dari semuanya yang berbau duniawi. Kalau sudah kosong secara sejati, maka Yang Maha Esa akan mengisinya!
20. Pemberian yang diberikan, terdorong oleh rasa kewajiban, kepada seseorang tanpa mengharapkan sesuatu kembali, dan diberikan di tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat dan kepada orang yang membutuhkannya –pemberian ini disebut sattvik (bersih).
21. Bila suatu pemberian diberikan dengan itikad mendapatkan sesuatu imbalan atau dengan harapan bahwa di kemudian hari akan ada balasannya, atau diberikan secara tidak ikhlas – pemberian ini disebut rajasik (bersifat mementingkan diri sendiri).
22. Pemberian yang diberikan pada tempat dan waktu yang salah atau kepada orang yang tak pantas menerimanya, atau diberikan tanpa rasa hormat atau dengan diiringi caci-maki – pemberian ini disebut tamasik (gelap).
Terdapat tiga jenis pemberian dana atau perbuatan amal yang jelas diperinci di atas, yang masing-masing didasarkan pada sifat-sifat seseorang. Seperti kata Nabi Muhammad SAW, maka sebenarnya memberikan dana atau perbuatan amal itu lebih ditegaskan pada itikadnya, contoh: memberikan air pada seorang musafir yang kehausan adalah dana, membersihkan batu atau benda-benda tajam dari jalan agar orang lain tidak tersandung dan tertusuk adalah dana, tersenyum memberi semangat pada seseorang yang kesukaran adalah dana. Menggali sumur, menyediakan tempat minum, membangun jalan, membangun tempat ibadah dan menanam pepohonan demi kebutuhan masyarakat dan melestarikan alam adalah dana. Bukankah sebenarnya dengan kata lain pemberian dana atau perbuatan amal itu adalah kekayaan seorang manusia yang sebenarnya.
Pemberian tidak selalu identik dengan uang, tanpa uangpun seseorang dapat memberi tanpa habis-habisnya dan itulah kekayaan kita yang sejati. Sadarkah kita akan hal ini? Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Sewaktu seseorang meninggal dunia, orang-orang bertanya harta-benda apa saja yang telah ditinggalkannya, tetapi para malaikat bertanya amal-perbuatan baik apa saja yang telah dilakukannya sebelum ia meninggal dunia? Pemberian yang ikhlas dan tanpa pamrih adalah kekayaan sejati, seperti kata sebuah pepatah: “Hanya orang kaya yang dapat memberikan tanpa merasakan kehabisan, yang miskin hanya dapat menerima saja tanpa memberi kembali!” Seseorang disebut miskin kalau sudah menerima apa adanya masih saja merasa kurang dan meminta terus, dan hal ini berlaku untuk orang-orang yang merasa kaya-raya tetapi selalu haus akan harta-benda, kedudukan dan hal-hal duniawi lainnya. Sebaliknya seorang petani yang miskin secara duniawi mungkin adalah orang yang amat kaya, karena setiap harinya ia bersyukur ke hadirat Yang Maha Esa untuk semua yang didapatkannya hari itu. Kalau saja semua ini dapat dihayati oleh semua insan di dunia ini, damai sentosalah kita semuanya.
Dana atau amal adalah perbuatan yang amat mulia sifatnya, yang dianjurkan oleh semua agama di dunia ini, karena dengan jalan ini lahirlah rasa simpati yang dalam dari hati nurani kita kepada makhluk-makhluk ciptaan Yang Maha Esa yang lainnya seperti sesama manusia, fauna, flora, makhluk-makhluk halus dan lain sebagainya. Dana atau amal yang sejati menciptakan kedamaian, kebahagiaan, membuat hidup ini berarti bagi sesamanya. Perbuatan dana atau amal adalah salah satu kreasi Yang Amat Indah dan Penuh Makna, ciptaan Yang Maha Esa. Memberikan dana adalah ibarat menanam pohon yang cabang-cabangnya menjulang tinggi langit tanpa habis-habisnya. Memberikan tanpa pamrih adalah inti dari kebahagiaan sejati atau berkah dari Yang Maha Esa sesungguhnya.
Lihatlah Ibu Theresia, pemenang hadiah Nobel untuk perdamaian dari India, yang telah menolong jutaan manusia hina-papah di India dan di bagian-bagian lain di dunia tanpa mengharapkan suatu imbalan apapun juga. Memulai usahanya tanpa uang sepeserpun dan hanya berbekal iman pada Tuhan Yang Maha Esa ia masih dapat menolong ribuan manusia setiap harinya. Ibu Theresia inilah lambang dari Yang Maha Esa sesungguhnya dalam bentuk manusia di muka bumi ini, yaitu memberi tanpa pernah merasa akan kehabisan, dan tetap saja Ibu yang suci ini berkata, “Tuhan belum memberikan aku suatu kesuksesan, la hanya telah membuatku beriman.” Om Tat Sat.
23. “Om Tat Sat” – inilah yang dikatakan sebagai ketiga faktor penting dari Sang Brahman (Yang Maha Esa). Dengan ini terciptalah para Brahmin di masa lalu, Veda-Veda dan persembahan-persembahan (pengorbanan).
24. Maka dengan itu semua tindakan pengorbanan, persembahan (pemberian) dan disiplin spiritual yang dianjurkan skripsi-skripsi suci, dimulai dengan ucapan kata Om oleh mereka-mereka yang mengetahui akan Sang Brahman.
25. Mereka yang menginginkan pembebasan (penerangan) memulai tindakan pengorbanan, disiplin dan persembahan mereka dengan ucapan kata Tat (Itu), tanpa mengharapkan pamrih.
26. Kata Sat dipergunakan dengan menyadari realitas dan kebenaran. Begitu juga, oh Arjuna, kata Sat dipergunakan untuk tindakan-tindakan terpuji.
27. Keteguhan dalam pengorbanan, disiplin-disiplin spiritual dan pemberian dana juga, disebut “Sat,” dan juga tindakan yang terpusat pada hal itu disebut Sat.
28. Apapun yang dilakukan tanpa iman, apakah itu persembahan (dalam suatu pengorbanan), dana atau disiplin spiritual, atau apa saja yang lain daripada itu, disebut asat, oh Arjuna! Pekerjaan semacam itu tak ada nilainya (artinya) baik di sana maupun di sini.
Om Tat Sat adalah tiga patah kata mistik yang disebut-sebut di pustaka-pustaka suci Hindu. Ada hubungannya yang amat dalam dan bersifat mistik, suci, sekaligus spiritual antara kata-kata ini dengan semua tindakan yagna, tapa dan dana.
Om Tat Sat adalah tiga patah kata yang menyatu artinya dan merupakan manifestasi dari Yang Maha Esa, Sang Para Brahman dan semua tindakan-tindakanNya. Kata Om berarti supremasi Yang Maha Esa yang tanpa ada tandingannya. Yang Maha Esa atau Sang Brahman begitu tinggi dan agung bentuk dan sifatNya sehingga tidak ada suatu kata pun yang dapat menggambarkanNya atau melukiskanNya dengan pasti apa itu sebenarnya Yang Maha Kuasa ini. Kata Om maka dari itu dijadikan lambang dari supremasi atau keagunganNya. Om kata filsuf shankara dapat berarti “setiap kata tunduk di hadapan Yang Maha Esa.” Begitu agung makna simbol atau kata Om ini bagi orang-orang Hindu. Manusia hanya bisa menangkap apa arti Yang Maha Esa tetapi tidak bisa menggambarkan atau mengekspresikan Apa Itu Yang Maha Esa sebenar-benarNya.”
Setiap agama berusaha untuk menggambarkan atau melukiskan atau bahkan memberikan nama dan arti untuk Yang Maha Esa dengan versinya masing-masing, tetapi sesungguhnya kita manusia begitu terbatas kemampuannya sehingga tak akan pernah dapat dan tahu apa itu Yang Maha Esa sesungguhnya dengan segala manifestasi dan keagunganNya. Setiap agama dan ajaran suci memanggilNya dengan nama dan sebutan suci masing-masing, begitu juga para Aryan yang menjadi nenek-moyang dari orang-orang Hindu di India memberikanNya suatu nama atau sebutan suci, yaitu Om. Dengarkanlah gema nama ini dalam alunan Sang Bayu, dan gelegarnya suara ombak, dalam alunan aliran sungai yang mengalir, dan dalam cahaya bintang-bintang di langit, dalam kicauan dan lagu-lagu alam para burung di alam-bebas, dan dalam gegap-gempitanya suara halilintar, dalam lagu-lagu pujaan seorang bhakta (pemuja)Nya, dalam suara lonceng-lonceng di gereja dan di kuil, dalam puja-puji dan kidung-kidung suci di stupa-stupa dan suara azan yang merdu di mesjid-mesjid. Semua ini menyebut nama Yang Maha Esa, yang Tak Ada TandinganNya: bagi orang Hindu semua itu suara Om yang tak ada taranya di alam semesta ini. Sebutkanlah kata sakti ini sekali, dua kali, tiga kali dan seterusnya, karena Om inilah lagu kehidupan, lagu Yang Maha Esa, lagu penciptaan Yang Maha Esa, dengan ini diciptakannya alam semesta beserta segala isinya. Sebutkanlah mantra Om ini tujuh kali atau seterusnya dan biasakanlah kita ini selalu merasa hadir di tengah-tengah kebesaran Yang Maha Esa, di tengah-tengah Yang Maha Esa Itu Sendiri.
Om adalah meditasi, Om adalah kesucian diri kita, Om adalah hidup kita sehari-hari, Om adalah aspirasi kita kepada Yang Maha Esa, kepada Sang Kreshna Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Om adalah setiap tindakan kita yang tanpa pamrih, tanpa keserakahan dan motivasi apapun juga. Hadirkan diri kita secara suci-bersih di hadapan setiap hal, tindakan dan kewajiban kita dengan memulai kata Om selalulah menghayatiNya dengan tulus dan murni.
Kata Tat mengekspresikan universalitas Sang Brahman, Yang Maha Esa. la adalah Sifat UniversalNya. Tuhan Yang Maha Esa ini menurut Shankara adalah kesadaran Yang Maha Suci. Tat dengan kata lain dapat dan baik diartikan sebagai Kesadaran Universal Yang Suci. “Bermeditasilah,” kata Shankara, “di dalam kesadaranmu sendiri.” Meditasi ini mengarah ke arah penerangan atau pembebasan. Kata Sat mengekspresikan Kebenaran dan Kebaikan Sang Para Brahman. Sang Brahman ini adalah Yang Maha Baik, dan Ia hadir dalam setiap jiwa kita dan para makhluk-makhluk lainnya sebagai Yang Baik, Yang Suci, dan berbagai manifestasiNya seperti Itikad Yang Suci, Itikad Yang Baik, semua unsur yang baik dan suci dalam diri kita. Ia menuntun kita dan menyadarkan dan memberitahukan kita apa itu yang baik dan apa itu yang buruk. Tuhan Yang Maha Esa adalah Itu. Ia juga berarti “Apa,” yaitu “Kebaikan.” Sat juga berarti memproduksi yang baik dan suci. Semua tindakan tanpa pamrih dan demi kewajiban kita kepada Yang Maha Esa adalah Sat. Semua tindakan yang bukan demi Yang Maha Esa adalah asat, tidak realis, tidak benar atau tidak nyata.
Om Tat Sat adalah mantra suci Bhagavat Gita. Mengulang-ulang mantra ini adalah suatu tindakan sakramental, yang akan membukakan pintu berkahNya bagi yang melakukannya. Orang-orang Kristen dan Buddhis, Muslim dan Yahudi pun masing-masing mempunyai ucapan-ucapan atau formula-formula suci, yang kalau diucapkan menjadi semacam jembatan spiritual bagi yang melakukannya dengan Yang Maha Esa, dan yang dapat memberikan semacam sakti atau kekuatan spiritual bagi yang telah menghayati kata-kata suci ini. Kata-kata suci ini juga menjauhkan kita dari segala efek-efek dan pengaruh-pengaruh negatif yang gelap, buruk dan yang bersifat iblis. Penghayatan akan mantra-mantra suci mempengaruhi jiwa kita sehingga lama-kelamaan menjadi suatu kesatuan dan tenaga spiritual bagi jiwa-raga kita.
Berbagai kata suci dalam berbagai agama dapat diterangkan secara singkat seperti berikut ini: “Sat Nam.” “Tuhan,” “kasih,” “Kreshna,” “Kristus,” “Hare Ram,” “Hari Bol,” “Haq Maujud,” “Rahman,” “Rahim,” dan banyak lainnya. Kalau diucapkan berulang-ulang setiap saat, hari dan pada setiap kesempatan yang tersedia, dengan dedikasi dan kesetiaan kita yang tulus, dengan penghayatan dan maksud membersihkan dan menyucikan diri dan pikiran kita, dan sambil menjauhkan segala ego kita, maka semua itu akan mempertebal iman kita kepadaNya. Seorang sufi pernah berkata, “Pintu kata-kata ini akhirnya terbuka dan Sang Jiwa pun masuk kedalam Keadaan Yang Nyata.”
Mantra-mantra atau kata-kata suci yang diulang-ulang sepanjang hidup kita pasti suatu saat akan mengantar kita ke alamNya yang penuh dengan cahaya dan penerangan Ilahi Bagi seorang Hindu, setiap bentuk perbuatan, pekerjaan, yagna dan lain sebagainya dimulai dengan kata-kata Om Tat Sat. Mulailah semuanya dengan kata Om, lalu mulailah dengan puja atau mantra yang akan dibacakan. Tidak ada pekerjaan, mantra atau suatu tindakan yang tidak dilakukan tanpa diawali kata Om. Inilah salah satu kaidah atau hukum suci yang terdapat di kitab-kitab suci Hindu kuno, yang kesemuanya juga adalah hasil kerjaNya semata, hasil kerja dari Om Tat Sat Itu Sendiri, begitu pun dengan semua ciptaan dan kreasiNya, semua kasih dan berkahNya, semuanya adalah Om Tat Sat, berawal dari Itu dan berakhir ke Itu juga. Demikianlah, seyogyanya kita memulai semua perbuatan kita, apa saja pekerjaan atau perbuatan itu dengan kata Om Tat Sat.
Semua tindakan tanpa kata-kata suci adalah asat. Walaupun semua tindakan baik sifatnya, tetapi tanpa penghayatan akan kata-kata suci ini secara sejati tidak akan menghasilkan apapun juga baik di dunia ini maupun di loka-loka lainnya. Om Tat Sat adalah pencetusan iman kita kepadaNya, dengan kata lain mengingatNya dan mendahulukanNya untuk dan dalam setiap tindakan atau perbuatan kita yang berarti mengutamakanNya dan bekerja demi la semata secara tulus. lalah semua ini sebenarnya, la juga Hidup dan Tujuan kehidupan ini sebenarnya. Tanpa iman kepada Yang Maha Kuasa, semuanya jadi tidak berarti. Om Tat Sat.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, bab ini adalah bab ketujuh-belas yang disebut:
Shraddha Traya Vibhaga Yoga Atau Yoga Ketiga Bentuk Sifat Kepercayaan (Iman).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar